Beranda

Jumat, 12 Juni 2009

Sensual Siang Malam



Sensual Siang-Malam
Ketika batas antara pakaian kasual dan city wear kian kabur.
Mengantar anak ke sekolah, ke kantor, bertemu klien atau teman-teman, serta arisan hampir menjadi rutinitas harian Damayanti. Pelbagai aktivitas itulah, dari pagi hingga malam, yang membuat Yanti--sapaan perempuan 35 tahun ini--selalu membawa pakaian serep di tasnya.
Yanti tak merasa nyaman jika berkumpul dengan teman-temannya sembari masih mengenakan pakaian kantor. "Terlalu resmi dan kesannya kaku," katanya. Sehingga, setelah selesai menjalankan aktivitas kantor, dia berganti dengan pakaian kasual.
Yanti adalah satu di antara perempuan-perempuan karier yang menjalani dua peran sekaligus, dunia karier dan sosial, dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam menjalani fungsi karier, perempuan seperti Yanti mengenakan pakaian kerja atau city wear yang formal dan kaku--yang tak cocok digunakan di luar jam kerja.
Lalu, saat menjalankan fungsi sosial, Yanti akan mengenakan casual wear atawa pakaian santai yang umumnya bergaya sporty sehingga lebih fleksibel. Casual wear memungkinkan pemakainya lebih mudah bergerak di siang hari. Pakaian jenis ini kadang tak cocok dikenakan di lingkungan kerja.
David Landart, dari Carlin International (sebuah lembaga pembaca tren fashion dan desain interior di Prancis), mencermati fenomena ini dan mengatakan desain pakaian sebenarnya tak melulu hanya bisa dikenakan saat bekerja. "Tapi juga saat tidak menjalankan rutinitas kantor," ujar Landart dalam sebuah acara seminar “Trend Global Musim Panas 2010” di Jakarta, beberapa waktu yang lalu.
Menurut Landart, model pakaian yang bisa dikenakan sekaligus, baik saat di kantor maupun di luar kantor, itulah yang diperkirakan akan menjadi tren di musim semi-panas 2010 nanti. "Kata kuncinya sensuality," katanya.
Kesan sensual bisa dilakukan melalui pemilihan bahan, bentuk, dan motif. Dari bahan, misalnya, katun dan nilon bisa dipilih dengan memberi kesan glossy yang samar. Atau dengan menambahkan rajutan sensual, rajutan katun, serta micro pique dengan efek tembakan yang berwarna-warni.
Banyak bentuk bisa diciptakan untuk menampilkan kesan sensual. Bentuk-bentuk yang lentur, misalnya, cenderung menciptakan siluet-siluet sensual yang simpel, tak berkesan berlebihan.
Atau siluet longgar dengan fokus pada volume dalam gaya neo-casual yang terinspirasi piyama, celana dengan tali serut di pinggang dipadu dengan jaket mirip kemeja. Bisa juga dengan memadukan celana "harem" kombinasi bare back (sarouel) dengan bagian depan yang menyerupai perhiasan, atasan drapery di atas sarouel ekstrapanjang.
Sensualitas bisa juga dimunculkan dengan permainan motif. Misalnya, motif keheningan bunga mekar, motif-motif bunga dalam suasana segar yang menyurut. Juga gambar-gambar halus yang rumit dalam perlakuan dua warna yang terpolarisasi atau dibaurkan pada sifon. ERWIN DARIYANTO

Sehari Bersama Sandra Dewi





Sehari Bersama
Mimpi-mimpi Sandra Dewi
"Saya selalu berdoa setiap mempunyai keinginan."
Pukul 09.00 Studio Indosiar Daan Mogot, Jakarta Barat
Mengenakan sack-dress halter-neck warna biru dikombinasi dengan embroidery rancangan Edward Hutabarat, Sandra Dewi masuk ke studio 2 Indosiar di bilangan Daan Mogot, Jakarta Barat. Rambut panjangnya dikepang kuda. Aksesori, seperti gelang, anting, dan jam tangan, melengkapi penampilannya pada Kamis pagi pekan lalu.
Sayang, dara kelahiran Pangkalpinang, Bangka Belitung, 8 Agustus 25 tahun lalu itu tak ingin merek yang ia kenakan dikenal publik. Alasannya, dia khawatir perusahaan lain yang akan menjadikannya model iklan mengurungkan niatnya.
Mengenai batik, pemilik nama asli Monica Nicholle Sandra Dewi Gunawan Basri ini mengaku menyukainya sejak belum menjadi primadona seperti saat ini. Saking sukanya, setiap pergi ke Yogyakarta, Sandra selalu meluangkan waktu ke toko batik Mirota.
Dengan mengenakan baju bermotif batik, khususnya yang mini, perempuan yang mulai dikenal di jagat hiburan lewat film Quickie Express ini merasa lebih anggun dan percaya diri. Mengenai motif, dia tidak pilih-pilih. "Apa pun jadi, yang penting batik," kata Sandra sesaat setelah memasuki studio.
Tak perlu yang mahal-mahal, batik dengan Rp 30 ribu pun pernah ia kenakan untuk sebuah acara syuting. Sayang, dia enggan menyebut nama acara tersebut. Peristiwa itu terjadi di awal-awal terjun ke dunia entertainment pada 2006.
Saat itu tak jarang dia mengenakan baju yang sama untuk beberapa kali acara, sehingga banyak penggemarnya yang melontarkan kritik. Dia pun kemudian mulai aktif berburu pakaian ke beberapa pusat belanja.
Hari itu Sandra mengenakan baju rancangan Edward karena didaulat menjadi presenter acara Natal di stasiun televisi Indosiar. Inilah untuk pertama kalinya dia mendapat job sebagai presenter. "Jadi saya harus tampil beda," kata anak pertama dari tiga bersaudara keluarga Andreas Gunawan Basri dan Chatarina Erliani ini sambil memasuki ruang makeup.
Sekali lagi, Sandra Dewi menolak menyebut merek kosmetik yang sering dia pakai. Untuk wajah, dia jarang menggunakan alas bedak, karena tak suka. Seringnya justru dia memakai bedak bayi. Dalam hal makeup, lulusan London School and Public Relations, Jakarta, ini mengaku sering melakukannya sendiri, kecuali untuk acara syuting, baru dia percayakan kepada penata rias artis.
Peraih penghargaan Indonesia Movie Award kategori pemain pendatang baru 2008 untuk film Quickie Express ini mengaku jarang melakukan perawatan kulit, dan wajah; seperti facial, luluran, spa, atau massage.
Bukan karena wajahnya tak pernah bermasalah. Jerawat selalu hadir di wajahnya setiap bulan, bersamaan dengan datangnya menstruasi.
Oleh seorang dokter, dia disarankan tak memaksa jerawat itu pecah sebelum waktunya, dengan cara memencet. Sebab, cara itu justru akan mengakibatkan bekas hitam pada wajahnya. Akhirnya dia biarkan jerawat itu hingga bosan menempel di wajah ayunya tersebut.
Dari dokter itu pula dia memperoleh informasi bahwa facial justru menyebabkan kulit wajah berlubang. Makanya dia lebih suka mengenakan masker tisu untuk membersihkan kotoran di wajahnya.
Meski baru pertama kali menjadi presenter, proses syuting berjalan lancar. Hanya sedikit adegan yang diulang. Apa resepnya? "Saya selalu berdoa setiap mempunyai keinginan," katanya lirih.
Selain berdoa, dia kerap berpuasa, termasuk dalam hal memilih jodoh. Target dia berumah tangga pada usia 25 tahun meleset karena, dari sejumlah pria yang melakukan pendekatan, belum ada satu pun yang cocok di hatinya. Dia pun melonggarkan targetnya menjadi 28 tahun.
"Pria impian saya seperti Edward Cullen," Sandra menyebut kriteria pria idamannya, seorang tokoh dalam film Twilight, arahan sutradara Chaterine Hardwicke.
Cinta, perhatian, kasih sayang, dan perlindungan yang diberikan Edward kepada kekasihnya membuat artis yang mendapat predikat tercantik dari sebuah media infotainment ini jatuh hati. "Itu (cinta, perhatian, kasih sayang, dan perlindungan) yang membuat saya dan kebanyakan wanita kelepek-kelepek," ujar Sandra dengan mimik ekspresif.
Masalah jodoh, duta antinarkoba ini tak terlalu muluk-muluk. Pintu hati Sandra justru tertutup bagi kalangan artis. Profesi artis, yang banyak menghabiskan waktu di lokasi syuting, menjadikannya ingin mencari pria dari kalangan orang biasa saja, yang mempunyai banyak waktu luang untuk keluarga.
Pria yang berprofesi sebagai pengusaha dan pekerja keras boleh sedikit lega. "Saya ingin calon suami saya bukan orang yang malas-malasan," kata Sandra.
Syuting usai menjelang tengah hari. Mengendarai Nissan Serena, kami meninggalkan studio Indosiar. Kali ini kami berkeliling ke beberapa tempat di Jakarta untuk urusan yang tak boleh disebutkan.
Lagu-lagu Mariah Carey menemani selama perjalanan. Penyanyi asal Amerika Serikat itu idola Sandra. Sesekali perempuan dengan berat badan 47 kilogram dan tinggi 168 sentimeter ini menyedot teh pare dan teh rosela, dua jenis minuman yang selalu ada di mobilnya.
Teh pare, yang berasal dari pare yang dikeringkan, dan teh rosela selalu dia minum setiap hari. Itu dilakukan sejak tiga tahun lalu atau setelah terjun ke dunia entertainment, untuk menetralisasi kadar gula yang ada dalam tubuhnya. Saat menjalani jadwal syuting yang padat, dia gemar minum minuman yang manis, seperti teh kemasan atau susu kemasan.
Berkeliling di Jakarta lebih dari empat jam, tak satu pun makanan masuk ke mulut Sandra. Dia mengaku jarang makan siang. Rahasianya, porsi makan paginya diperbanyak.
Seperti pagi harinya sebelum beraktivitas hari itu, sepiring nasi uduk, tempe, mi goreng, tahu, dan kerupuk menjadi menu sarapan perempuan yang suka berselancar di dunia maya ini. Kerupuk harus selalu ada saat dia makan. Bahkan sampai ke luar negeri sekalipun harus ada kerupuk. "Pernah saya tidak bisa kenyang karena tidak makan kerupuk," ujar perempuan yang sering memanfaatkan waktu luangnya dengan membaca novel ini.
Adapun nasi putih, perempuan yang pernah sekali makan daging monyet dan ular untuk kepentingan penyembuhan ini mengaku tak suka. Alasannya, menurut dia, nasi putih tak ada rasanya sekalipun dicampur dengan berbagai aneka lauk-pauk.
Dia terpaksa makan daging monyet untuk penyembuhan penyakit sesak napas yang dideritanya. Dan daging ular ia makan karena dia pernah digigit binatang buas tersebut.
Pukul 17.00 Rumah Sandra Dewi Kedoya, Jakarta Barat
Selain Nisan Serena yang kami tumpangi, di garasi rumah dua lantai itu terparkir Toyota Avanza dan Toyota Yarris. Serena dia kendarai untuk perjalanan di dalam kota dengan jarak pendek. Avanza untuk perjalanan jarak jauh, dan Yarris dia kendarai sendiri apabila sopirnya tak masuk kerja.
Sebuah media infotainment menunggu Sandra untuk wawancara. Topiknya predikat dia sebagai Indonesia top searches 2008 di Yahoo.
Terjun ke dunia entertainment bukanlah cita-cita awal Sandra. Awalnya dia ingin menjadi seorang public relations, sehingga melanjutkan kuliah di London School and Public Relations.
Cita-cita itu sempat menjadi kenyataan pada 2005, setelah perempuan yang pernah menjadi duta pariwisata Jakarta Barat ini lulus dan menjadi public relations di sebuah perusahaan akuntan. Tapi itu hanya berlangsung kurang dari satu tahun.
Pada 2006, dia mengikuti "Fun Fearless Female" majalah Cosmopolitan, dan meraih juara ke 2. Nia Dinata, salah satu juri dalam ajang tersebut, kemudian mengajak Sandra main di film yang ia sutradarai. Merasa materi yang didapat lebih banyak ketimbang bekerja di perusahaan akuntan, Sandra beralih ke dunia seni peran.
Sebagai pendatang baru dan main bersama Aming serta Tora Sudiro, Sandra sempat minder. Dorongan semangat dari Nia Dinatalah yang akhirnya menumbuhkan rasa percaya dirinya.
Sukses bermain di film Quickie Express, tawaran bermain sinetron dan menjadi bintang iklan pun membanjirinya. Berturut-turut, dia membintangi sinetron Kejamnya Dunia, Hidayah, Cinta Indah, Elang, dan Saya Jameela. Terakhir dia membintangi film Tarzan ke Kota, yang masih diputar di bioskop-bioskop pada pekan ini.
Selain akting, perempuan yang langsung sesak napas begitu mencium asap rokok ini juga membintangi berbagai iklan. Bahkan dari iklan inilah dia mendapat honor yang lebih banyak. "Namun, untuk dikenal dan menjadi bintang iklan itu kan harus main film dulu," katanya.
Mengenai honor, perempuan yang ingin berbisnis kos-kosan khusus pria ini enggan menyebut angka persisnya. "Nggak besarlah," kata dia. Urusan besarnya honor, semua ditentukan oleh adik-adiknya, yang juga menjadi manajernya.
Adik-adiknyalah yang juga mengatur keuangan untuk kebutuhan Sandra selama satu bulan. Tak banyak uang yang dibutuhkan Sandra dalam sebulan. Dia mengilustrasikan, pengeluarannya dalam sebulan hanya untuk bensin. Makan sehari-hari biasanya di lokasi syuting dan sudah disediakan oleh pihak produser.
Sandra mengaku suka ke pusat belanja, untuk sekadar jalan-jalan atau berbelanja. Tapi jenis belanjaannya bukan kategori mahal untuk ukuran artis. Melihat barang dengan harga Rp 500 ribu pun dia mundur.
Praktis, pengeluaran dia selama satu bulan hanya untuk membeli bensin. "Antara Rp 2 dan 4 juta-lah," kata perempuan yang jarang berolahraga ini.
Sejak memiliki jadwal padat, Sandra jarang melakukan olahraga. Hal yang masih sering dia lakukan adalah senam di kamar selepas bangun tidur.
Tak banyak waktu luang yang ia miliki dan harinya juga tak tentu. Ketika memiliki waktu luang, pencinta novel Twilight karangan Stephenie Meyer ini memanfaatkannya untuk membaca novel.
Sesekali dia berkumpul bersama teman-teman masa SMA ataupun kuliah di Starbucks menikmati green tea late, minuman favorit perempuan yang tak suka kopi ini.
Pukul 18.30 Gereja St Thomas Kedoya, Jakarta Barat
Hal yang rutin dilakukan Sandra dan keluarganya menjelang Natal adalah melakukan pengakuan dosa. Selama setengah jam dia berdoa di dalam gereja.
Selepas dari gereja, pemeluk Katolik ini memiliki satu acara lagi: bertemu dengan salah satu kliennya. Tapi, untuk yang satu ini, dia tak mau diikuti. Kami pun berpisah.

Mestinya Pasien Tahu

Mestinya Pasien Tahu

Secara hukum, hak-hak pasien di rumah sakit dilindungi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Tapi, kenyataannya, masih banyak penyedia layanan medis--baik rumah sakit maupun dokter praktek--yang tak memperhatikannya. "Masih banyak yang mengabaikannya," kata Kartono Mohammad, mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, ketika dihubungi Tempo pada Kamis lalu.
Gejala umum yang terjadi di masyarakat Indonesia, tutur Kartono, adalah adanya kesenjangan antara dokter dan pasien. Boleh dibilang, hubungan keduanya masih ibarat masyarakat golongan bawah dan kalangan elite papan atas. Pasien, yang seharusnya menjadi mitra sejajar, dipaksa tunduk dan menurut kepada apa pun titah dokter serta tak boleh mengajukan pertanyaan.
Kartono menyatakan, umumnya penyedia layanan medis masih belum sepenuhnya berorientasi pada kepentingan dan kepuasan pasien. "Mereka belum menjadikan mutu serta kualitas layanan sebagai acuan."
Kasus Prita Mulyasari di Tangerang Selatan, Kartono menambahkan, menjadi salah satu contoh betapa tak adanya komunikasi yang empatik antara rumah sakit dan pasien. Rumah sakit tak berkenan mendapat pertanyaan bertubi-tubi dari Prita, yang ingin mengetahui jenis penyakitnya.
Kartono menegaskan, tanpa undang-undang tersebut, seharusnya, saat di bangku perguruan tinggi, seorang dokter sudah menerima pelajaran tentang etika kedokteran. "Tentang bagaimana memperlakukan dan memberikan hak-hak pasien."
Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta menyodorkan fakta yang ditemukan lembaganya. Menurut dia, sepanjang 1998-2008 lembaganya menerima sekitar 500 pengaduan pasien rumah sakit. "Umumnya karena tidak diberi informasi oleh rumah sakit," kata Marius.
Padahal penyedia layanan kesehatan dan dokter berkewajiban memberikan hak-hak yang harus diterima. Hak-hak pasien antara lain mendapatkan penjelasan lengkap tentang tindakan medis yang akan dilakukan, termasuk mengenai diagnosis, tujuan, risiko, dan alternatif tindakan lain; mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; menolak tindakan medis yang akan dilakukan; dan mendapatkan isi rekam medis.
"Tanpa diminta, dokter wajib memberikan apa pun informasi tentang kondisi medis pasien," Marius menambahkan.
Tentu saja, selain hak-hak, pasien mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi. Di antaranya pasien harus memberikan informasi yang jelas, jujur, dan lengkap tentang masalah kesehatan yang dia hadapi; mematuhi nasihat dan petunjuk dokter; serta membayar imbalan atas jasa yang dia terima.
Adapun penyedia jasa layanan kesehatan, selain menerima haknya berupa imbalan dari pasien, mempunyai kewajiban antara lain membuat, menyimpan, dan menjaga kerahasiaan rekam medis. "Rekam medis menjadi milik penyedia layanan kesehatan, tapi isinya milik pasien," ujar Farid Husein, Direktur Jenderal Pelayanan Medis Departemen Kesehatan.
Ketika merasa tak mendapatkan hak yang mestinya diterima, menurut Farid, pasien bisa menempuh beberapa cara. Bisa langsung komplain kepada rumah sakit. Kalau tak ditanggapi, bisa juga mengadu ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDI), Departemen Kesehatan, dan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi).
Sayangnya, undang-undang tak memberikan kewenangan kepada MKDI, Departemen Kesehatan, dan Persi untuk memberikan sanksi bagi dokter atau penyedia layanan medis yang melakukan pelanggaran. "Kalau tidak puas, ya, silakan lapor polisi," Farid menjelaskan. ERWIN DARIYANTO

Buruk Pelayanan Derita Pasien

artikel ini dimuat di Koran Tempo edisi Minggu 7 Juni

Buruk Pelayanan Derita Pasien


Masih banyak penyedia layanan medis yang belum berorientasi pada kepentingan dan kepuasan pasien.
Prita Mulyasari tentu tak menyangka bakal menjadi pesakitan. Keluhannya atas pelayanan rumah sakit yang tak memuaskan justru berbuah tuntutan. Surat elektronik yang ia kirimkan kepada beberapa temannya dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit. Ibu dua anak ini sempat ditahan di lembaga pemasyarakatan sekitar tiga pekan.
Ya, Prita hanyalah satu dari sekian banyak pasien di negeri ini yang tak tahu mesti ke mana mengadu ketika dikecewakan rumah sakit. Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia mencatat, setidaknya ada 500 pengaduan yang masuk ke lembaganya sepanjang 1998-2008. Rata-rata keluhannya: tak diberi layanan dan informasi yang memuaskan oleh rumah sakit.
Bila ditilik lebih jauh, kasus Prita, yang masih bergulir, menunjukkan betapa lemahnya perlindungan terhadap pasien. Kebetulan kasus tersebut muncul di media dan menjadi berita besar. Masih banyak Prita lain yang bernasib serupa, bahkan boleh jadi lebih buruk lagi.
***
Saban berobat ke rumah sakit, Jajang selalu menemui masalah. Berturut-turut, pria 34 tahun itu mendapat pelayanan mengecewakan di tiga rumah sakit berbeda. Dua tahun lalu, dia mengantar ayahnya ke sebuah rumah sakit di Sukabumi, Jawa Barat, karena mendadak lemas.
Sepekan ayah Jajang dirawat di rumah sakit tersebut, sudah lima kali dokter mengganti jenis obat. Pertama diberi obat penenang dosis tinggi. Lalu diganti dengan jenis obat yang lain. "Begitu seterusnya, sampai terulang lima kali," kata Jajang.
Merasa ada yang tidak beres, Jajang bertanya kepada dokter dan perawat. Namun, jawaban mereka tak memuaskan Jajang. Barulah, setelah berdebat secara ilmiah, pihak dokter dan rumah sakit mulai serius menangani ayah Jajang.
Awal tahun ini, pengalaman mengecewakan kembali dialami Jajang ketika mengantar istrinya ke sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Sang istri diduga terkena demam berdarah.
Karena datangnya pada malam hari, istrinya hanya ditangani perawat dan diberi infus. Jajang dijanjikan bahwa dokter baru bisa datang besok malam. Dia pun memprotes pihak rumah sakit. Setelah protes itulah baru keesokan paginya dokter datang.
Dan Rabu malam lalu, Jajang kembali dikecewakan rumah sakit. Dia mengantar ibunya, yang menderita sakit dada, ke sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Ini untuk kesekian kalinya dia mengantar sang ibu di rumah sakit tersebut.
Malam itu, dokter yang biasanya merawat ibunya tak ada, sehingga dilimpahkan ke dokter lain. Setelah menyerahkan kartu berobat, suster sibuk mencari rekam medis pasien. Karena rekam medis sang ibu tak ditemukan, tanpa sepengetahuan Jajang, dibuatlah rekam medis baru sesuai dengan nomor kartu berobat.
Saat menuju ke ruangan dokter, Jajang secara iseng membuka catatan rekam medis. Betapa terkejut dia, "Ternyata rekam medis itu kosong, nggak ada catatannya sama sekali," Jajang menuturkan.
Padahal, sebelumnya, sudah dilakukan pelbagai pemeriksaan, termasuk rekam jantung dan roentgen. Untungnya, Jajang waktu itu membawa salinan resep yang diberikan sebelumnya. "Kalau tidak bawa resep, ya, dokter memeriksa dari awal lagi."
Lain lagi pengalaman Yudi. Tahun lalu, pria 28 tahun itu berobat di sebuah rumah sakit di Solo, Jawa Tengah, karena perut bagian kiri bawahnya sakit. Karena saat itu hari libur nasional, dia tak segera ditangani dokter.
Dokter baru memeriksa Yudi pada keesokan harinya. Dia dinyatakan mengalami masalah pada usus buntu dan harus menjalani operasi esok harinya. Sambil menunggu operasi, dia menerima suntikan dan obat.
Karena penasaran, sebelum operasi, Yudi minta di-roentgen. Hasilnya, ternyata salah satu bagian tulang pinggulnya retak. Dan sakit yang diderita Yudi bukan karena usus buntu. "Saya keluar biaya yang mestinya tidak perlu," tutur Yudi, yang mengisahkan kembali pengalamannya itu dengan masygul.
Dan hari-hari ini kita dikejutkan oleh kasus Prita Mulyasari, pasien yang justru diperkarakan oleh rumah sakit yang merawatnya. Pangkal persoalannya adalah pengajuan protes Prita atas layanan yang dinilai tak memuaskannya. Dia menganggap rumah sakit dan dokter tak memberikan hak kepadanya sebagai pasien. Pertanyaan tentang jenis penyakit yang ia derita dijawab sekenanya oleh dokter.
Prita kecewa. Merasa tak mendapat tanggapan, karyawati sebuah bank swasta itu lantas menumpahkan kekecewaannya itu lewat surat elektronik. Apa daya, Prita justru harus berhadapan dengan meja hijau.
Begitulah. Menurut Kartono Mohamad, peristiwa yang dialami Jajang, Yudi, dan Prita boleh dibilang merupakan cermin betapa karut-marutnya pelayanan rumah sakit di Indonesia.
Mantan Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia itu menyatakan masih banyak penyedia layanan medis di sini yang belum sepenuhnya berorientasi pada kepentingan atau kepuasan pasien. "Mereka belum menjadikan kualitas layanan sebagai acuan," ujar Kartono.
Terjadi pola hubungan yang tak seimbang antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Kartono menyatakan penyedia layanan kesehatan merasa sebagai pihak yang paling tahu akan penyakit, sedangkan pasien dianggap tak tahu apa-apa, sehingga apa pun kata dokter tak boleh dibantah pasien. "Pasien tidak berani bertanya, dokter enggan menjelaskan."
Tak seimbangnya hubungan antara penyedia layanan kesehatan dan pasien itu harus diubah. Menurut Kartono, tenaga medis--sebagai pihak yang selama ini dianggap paling kuat--harus mengambil inisiatif. "Apa pun yang berhubungan dengan penyakit pasien harus dijelaskan, meski tidak ditanyakan."
Seharusnya, tutur Kartono, hubungan pasien dengan penyedia layanan kesehatan adalah sebagai partner. Hubungannya sejajar. Penyedia layanan kesehatan bekerja sama dengan pasien demi sembuhnya pasien. "Apa penyakit bisa sembuh kalau pasien tidak mau menuruti perintah dan nasihat dokter," ujarnya.
Hal senada dilontarkan Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia. Menurut Marius, selama ini pasien masih sering dijadikan obyek, bukan subyek.
Kalau tak diminta, tutur Marius, rumah sakit atau penyedia layanan kesehatan cenderung tak memberikan hak-hak pasien. Mestinya, bila mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, hak-hak itu diberikan. "Tanpa diminta sekalipun," katanya.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Medis Departemen Kesehatan Farid Husein yakin rumah sakit dan dokter sudah menjalankan kewajiban sesuai dengan undang-undang. Menurut Farid, kalaupun masih ada, itu tak bisa dipukul rata bahwa pelayanan seluruh rumah sakit mengecewakan.
Saat pasien datang berobat, Farid mengilustrasikan, dokter selalu menanyakan sakit yang diderita. Setelah mendapat informasi dari pasien, dokter menjelaskan jenis penyakitnya. "Makanya pasien juga harus memberikan informasi yang benar dan jujur," katanya.
Farid menyatakan dokter juga manusia--yang dalam bekerja acap kali menggunakan bantuan alat. "Sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya kesalahan seperti dalam kasus Prita Mulyasari."
Dalam kondisi itu, Farid menambahkan, dokter berhak menolak memberikan isi hasil rekam medis yang salah. Hanya, pasien tetap harus diberi penjelasan tentang adanya kesalahan berikut revisinya.
Hal yang sama dikatakan Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Adib Yahya. Menurut Adib, sejauh ini, baik penyedia layanan kesehatan maupun tenaga medis telah melaksanakan fungsinya sebagai pelayan masyarakat.
Adib menyatakan pasien dianggap sebagai mitra sejajar. Terjadi dialog antara pasien dan tenaga medis. Memang, idealnya, begitu pasien masuk, dokter menjelaskan hak-hak pasien.
Tapi di lapangan, dokter tak mungkin menjelaskan kepada setiap pasien yang datang satu per satu soal hak-hak yang diterima. "Yang penting kan bukan penjelasannya, melainkan hak-haknya dipenuhi," katanya.
Misalnya, Adib menambahkan, informasi tentang penyakit pasien selalu diberikan oleh tenaga medis. Hanya, tak mungkin diberikan penjelasan secara mendetail dan terperinci dengan bahasa ilmiah kedokteran. "Bisa-bisa malah pasien tambah bingung."
Karena itu, semua narasumber menyarankan, pasien yang merasa hak-haknya tak diberikan langsung memprotes pihak rumah sakit atau tenaga medis.
Jika protes itu tak ditanggapi, pasien bisa mengadu ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Departemen Kesehatan, atau Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia. Kalau masih buntu, "Bisa juga melapor ke aparat hukum." ERWIN DARIYANTO