Beranda

Senin, 11 April 2011

Kenapa DPR Ngotot Bangun Gedung Baru?




“Apa salahnya membangun gedung?,”. Demikian tanggapan salah satu teman di status fecebook saya.

Hari itu, akhir Maret saya menulis, “Saya yakin Demokrat akan mendukung pembangunan gedung baru DPR. Dari pembangunan itu akan dapat..bla..bla..bla,”.

Dua hari kemudian, salah satu teman saya menulis status di Facebooknya, “Anggota DPR yang sekarang kan tidak menikmati gedung baru,”.

Pertanyaan menarik. Anggota DPR yang saat ini menjabat tidak akan menikmati gedung baru. Lalu kenapa mereka ngotot mengegolkan proyek baru ini.

Saya yakin semua praktisi, pengamat, wartawan, pejabat pemerintahan tahu alasan kengototan para legislator itu. Kalaupun tidak tahu, saya akan sedikit ngomong kosong soal kecurigaan saya atas kengototan itu.

Nilai proyek baru gedung DPR tidak tanggung-tanggung. Biaya untuk satu ruang anggota dengan luasan 100 meter persegi mencapai Rp 800 juta atau seharga satu rumah mewah di kota Solo, Jawa Tengah. Biaya gedung baru DPR jelas mencapai triliunan rupiah.

Biaya proyek segitu, mustahil habis semua untuk membiayai pembangunan gedung. Tentu ada biaya-biaya siluman. Silahkan Anda tebak sendiri, karena saya yakin Anda tahu.

Proyek gedung itu, saya pastikan tak akan bersih dari aroma korupsi. Korupsi berjamaah. Dan itu sepertinya dihalalkan oleh partai.

Partai-partai berkepentingan agar proyek itu gol. Demi mendapatkan cipratan dana dari proyek tersebut. Partai perlu dana untuk operasional. Biaya dari pemerintah, terang saja tidak akan mencukupi.

Maka jangan heran kalau partai-partai di Indonesia ini berada di bawah ketiak pengusaha. Karena dari pengusahalah mereka mendapatkan dana. Kalau tidak bisa saya pastikan pimpinan partai adalah pengusaha atau orang yang tergolong kaya.

Kalau tidak, partai itu pasti menempatkan orang-orangnya di pimpinan lembaga negara. Tentunya yang basah. Semisal DPR. Masalah ini pernah saya tulis sebelumnya di sini
Lalu bagaimana modus korupsinya.


Bibit Samad Rianto dalam bukunya Koruptor Go to Hell menyebut setidaknya ada delapan titik rawan korupsi dengan berbagai modus.

1. Lembaga atau Departemen yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan negara. Yakni, Departemen Keuangan (dalam hal ini Dirjen Pajak), BUMN, Bappenas.
Modus : Penentuan harga proyek yang lebih tinggi dari seharusnya atau mark up, pertanggungjawaban fiktif, kolusi antara wajib pajak dengan petugas pajak, BUMN dan BUMD tidak fokus pada core bisnisnya.

2. Lokasi yang terdapat disparitas antara penghasilan pegawai dengan peredaran uang. Misalnya, lokasi yang berhubungan dengan perijinan, Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan, lembaga penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan), dan lembaga pengelolaan keuangan negara yang berhubungan dengan administrasi proyek.
Modus : Kolusi antara pengusaha dengan pejabat pemberi ijin, kolusi antara penyidik dengan orang yang tengah berperkara, kolusi antara perusahaan dengan lembaga pegaudit laporan keuangan.


3. Pejabat Publik
Dalam hal ini pejabat yang duduk dijabatan politis. Dimana prosesnya melalui pemilihan yang berlangsung terbuka. Seperti pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden dan wakil presiden, dan pemilihan anggota legislatif. Politik uang menjadi pemicu utama korupsi di intansi yang dipimpin pejabat publik.
Modus: Kongkalikong antara pejabat publik dengan pemberi dana saat kampanye untuk mengegolkan suatu proyek. Semua diselubungi untuk kepentingan rakyat, padahal untuk mengeruk uang negara demi kepentingan pribadi.


4. Lembaga pengelola aset negara
Dalam hal ini Sekretariat Negara. Aset negara ini meliputi, kekayaan alam, tanah negara, fasilitas umum, gedung-gedung perkantoran, peralatan kantor, perumahan dinas, termasuk asrama, dan kendaraan dinas.

Modus : Pencatatan atau inventarisasi peralatan, kendaraan, perumahan, dan mesin kantor yang tidak teratur memicu terjadinya korupsi.

5. Pengadaan Barang dan Jasa
Pengadaan barang dan jasa ada semua departemen atau lembaga pemerintahan.
Modus : Penentuan spesifikasi barang, yang disesuaikan dengan milik rekanan; Manipulasi pelaksanaan tender; pertanggungjawaban fiktif; Manipulasi spesifikai barang, mark up nilai barang.
6. Korupsi pada proyek pembangunan
Seringnya terjadi di BUMN dan BUMD.Namun tak jarang juga di departemen-departemen. Karena hampir setiap departemen memiliki program pengadaan gedung baru.
Modus : Mark up nilai proyek; manipulasi pelaksanaan tender; pertanggungjawaban fiktif, kolusi dengan pemenang tender.

7. Korupsi pada sektor layanan publik.
Terjadi pada departemen atau lembaga-lembaga yang berwenang memberikan perijinan, dan administrasi layanan publik.
Modus: Kolusi antara perusahaan atau perorangan yang mengajukan dengan pejabat yang memberi ijin.

8. Korupsi pada kegiatan aparatur negara
Terjadi saat penerimaan calon pegawai negeri sipil, dan aparat negara lainnya.
Modus : Suap menyuap agar lolos seleksi. Tak jarang suap menyuap juga dilakukan untuk memperoleh jabatan tertentu

Satu hal bisa dilakukan DPR agar terhindar dari fitnah korupsi. Audit rekening pimpinan dan anggota DPR yang terlibat proyek ini.

Salam.
Senenkliwon
www.waroengbhatik.wordpress.com