Beranda

Senin, 19 September 2011

Filosofi Janur Kuning dalam Kawinan Jawa


Mengikuti ritual pesta pernikahan ala jawa, perlu kesabaran. Lama dan njlimet. Begitu kurang lebih komentar seorang teman asal Jakarta kepada saya.

Selain waktu, peerlengkapan juga tak bisa dibilang sederhana. Banyak ubo rampe yang harus dipersiapkan. Termasuk ubo rampe disini adalab hiasan di pelaminan dan pekarangan. Satu yang paling populer adalah janur kuning. Semua kita tahu kalau janur kuning sudah melengkung, artimnya ada pesta perkawinan.

Tapi sedikit yang tau, apa makna dari janur kuning itu? Nah kebetulan lebaran kemarin ngobrol sama seorang Ustadzz yang kebetulan ahli soal kejawen ini.

Menurut dia leluhur jawa memberi nasihat pada anak turunya dengan simbol-simbol agar selalu diingat. Salah satunya yang terkandung dalam prosesi pernikahan adat Jawa. Ada nilai-nilai positip ilahiyah di dalamnya. Semua itu banyak dikemas secara simbolis dan perlambang. Hal ini tak lepas dari kebiasaan orang Jawa yang tak memberi nasihat secara vulgar. Lebih sering digunakan pasemon (metafora, perlambang, simbolik dan sebagainya).

Maka mari kita bedah maknanya satu persatu:

Makna simbolis yang terkandung dalam janur kuning melengkung di pintu gerbang. Kata Janur berasal dari kiratha basa Jawa (Othak-athik mathuk), sejane neng nur (arahnya menggapai nur=cahaya Ilahi). Sedang kata kuning bermakna sabda dadi, semua perkataan bakal terwujud (kun fayaku-Nya Allah SWT) yang dihasilkan dari hati atau jiwa yang bening.

Dengan demikian, janur kuning mengisyaratkan cita-cita mulia dan tinggi untuk menggapai cahaya Ilahi dengan dibarengi hati yang bening. Nampak betapa tingginya filosofi janur kuning dalam prosesi pernikahan.

Ada lagi satu prosesi yang saya yakin pengantin pun belum tentu tahu maknanya. Yakni saat pengantin laki akan dipertemukan dengan mempelai pengantin perempuan. Sebelumnya masing-masing mempelai telah dibekali dengan daun sirih (suruh) yang telah digulung untuk kemudian dilemparkan pada pasangannya masing-masing. Daun sirih ini memiliki simbol selaras, serasi dan seimbang.

Pada saat tersebut sang pranatacara ”Godhong suruh lumah lan kurebe, yen ginigit pada rasane”. Sebenarnya hal ini mengisyaratkan bahwa orang yang berumahtangga diibaratkan sebagai daun sirih. Dalam bahtera rumah tangga hendaknya pasangan mempelai selalu seiya-sekata serta mengerjakan kewajibannya masing-masing.

Makna simbolis Tebu, Cengkir dan Pisang raja
Kalau kita mengamati di sebelah kiri-kanan ”gapura janur kuning”, terlihat pula tebu, cengkir dan pisang raja yang diikat pada dua tiang di depan ruang pertemua resepsi. Itu semua adalah simbolisasi nasehat yang diberikan para pujangga Jawa agar mempelai mempersiapkan masa depan kehidupannya secara sungguh-sungguh.

Pertama, Tebu. Tebu bisa kita artikan sebagai mantebing kalbu (mantapnya hati atau kalbu). Tanaman tebu yang rasanya manis dan menyegarkan memang sering dipakai sebagai simbol atau lambang dalam acara tradisi Jawa lainnya. Hal ini bisa kita lihat pada acara mitoni (selamatan untuk anak yang berusia 7 bulan). Si anak lalu dipandu untuk menaiki anak tangga.

Kedua, cengkir (buah kelapa yang masih muda). Maknanya adalah kencenging pikir. Dengan berbekal cengkir, sang mempelai diharapkan mampu melewati ujian kritis dalam mempertahankan pernikannya. Sehingga ”kaya mimi lan mituna” yang selalu bersama dalam menghadapi suka dan duka.

Ketiga, pisang raja, maknanya sangat jelas sebagai simbol dari raja. Artinya pernikahan manusia adalah salah satu tahap yang paling penting dari tiga proses perjalanan; kelahiran, perkawinan dan kematian. Diibaratkan dalam resepsi itu, pengantin adalah raja sehari yang disimbolisasikan dengan pisang raja yang ditempatkanm di depan rumah. Mempelai pun didudukkan di singgasana rinengga dengan mengenakan pakaiana ala raja dan permaisuri yang penuh aura kewibawaan.

Selamat pagi kawan


--Erwindar--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar