Beranda

Senin, 05 Desember 2011

Anggun C Sasmi: Aku Njawani Tho?








TEMPO.CO, Jakarta - Gayanya seanggun namanya. Saat berbicara, tutur katanya halus. Dengan rambut lurus selalu melewati bahu, badan langsing dan kulit sawo matang, ia berhasil mencitrakan diri sebagai orang Jawa anggun yang menjejakkan diri di dunia hiburan di negeri romantis: Prancis.
Anggun Cipta Sasmi, demikian sang ayah, penulis Darto Singo memberikan nama untuk putri yang dilahirkan di Jakarta, 29 April 1974 ini. Perempuan berdarah kraton Yogyakarta ini memulai karir sebagai lady rocker dengan topi baret. Lagu seperti Mimpi, Tua-Tua Keladi, dan Kembalilah Kasih (Kita Harus Bicara) akrab di telinga penggemarnya pada 1990-an.
Tak puas di tanah air, Anggun melenggang ke London, Inggris, pada 1995. Sempat mengalami gegar budaya di negeri itu, ia hinggap ke Belanda, yang dianggapnya punya cukup banyak orang Indonesia. Masih tak sukses, ia berlabuh di Prancis, negeri yang langsung dicintainya. Ia merintis karier di negeri mode itu. Di Paris, musisi Erick Benzi (yang memoles Celine Dion) memintanya mengubah citra, menampilkan sisi kefemininan wanita dewasa. Tak salah! Album debut internasionalnya, Snow on The Sahara dirilis di 33 negara termasuk Amerika Serikat dan menangguk sukses besar. Di Asia dan Eropa, lagu ini menjadi hit dan masuk Top 40.
Di Amerika Serikat, Anggun menjadi penyanyi Asia pertama yang diwawancara eksklusif oleh CNN Internasional. Snow on The Sahara juga masuk dalam US Billboard Chart dan menjadikannya penyanyi Asia pertama yang masuk dalam tangga lagu tersebut.
Album-album berikutnya masih menuai sukses di Eropa dan Asia seperti Chrysalis, Still Reminds Me, Open Heart, Luminescence, dan Elevation. Single ketiganya, Saviour digunakan sebagai soundtrack film box office Amerika, The Transporter2.
Ibu dari seorang putri bernama Kirana Cipta Montana Sasmi ini dua kali diundang bernyanyi saat peringatan Natal di Vatican. Ia juga menerima penghargaan prestisius Chevalier des Arts et Lettres dari pemerintah Prancis. Pada 2009, Anggun diangkat menjadi Duta Badan Pangan Sedunia (FAO). “Aku enggak kepengen hidupku hanya menghibur orang, tapi ingin memiliki misi dan berarti,” katanya kepada Istiqomatul Hayati dan fotografer Yosep Arkian dari Tempo.
Rabu dua pekan lalu di Restoran Xin Hua, Mandarin Oriental Hotel, tempatnya menginap, istri penulis Prancis, Cyril Montana, ini menerima wawancara kami. Dengan gaun berbunga pas di badan, Anggun berteriak kegirangan ketika Tempo membawakan buah favoritnya: manggis. “Untung enggak bawa duren. Gimana bawa masuk ke hotel,” katanya. 


***

Anda katakan tidur cuma tiga jam setiap hari dan jarang berolah raga. Bagaimana Anda menjaga stamina dan vokal hingga tetap prima dan bertenaga?
Susah sebenarnya. Aku itu kerjanya lumayan keras dan susah sekali membagi waktu untuk istirahat. Saya kalau ada waktu yang memungkinkan apakah itu tidur siang, aku akan ambil. Dulu Pablo Picasso mengatakan jangan pernah mengecilkan the power of little nap. Jadi dia dulu, dia cuma bobok siang 15 menit. Dia ambil tutup penggorengan, bobok siang sambil duduk, terus tangannya mencengkeram tutup itu di pangkuan. Begitu tidur pulas, tangannya jatuh, bleng! Bangun. Itu sudah cukup. Sebenarnya badan kita itu bisa ditangani dengan tidur itu.
Itu Anda lakukan juga?
Itu enggak bisa saya lakukan. Kan mereka (managemen) yang mengatur jadwal aku, karena itu aku memang sangat memahami sefrustrasinya wartawan yang kepengen wawancara sama aku dengan waktu lama tapi mau nggak mau karena waktu aku sedikit.
Bagaimana menjaga endurance Anda, dengan meditasi atau yoga misalnya?
Aku enggak ada waktu. Ya kadang-kadang, kayak semalam, kalau aku merasa serak, aku minum teh dan madu.
Badan Anda keren banget. Bagaimana caranya bisa membentuk badan seperti ini sementara tidur kurang dan jarang berolah raga?
Makan hati, hahahaha. Saya sering kecapekan. Ini sebenarnya enggak bagus. Kadang enggak punya nafsu makan atau makan kadang kurang. Kayak kemarin, sarapan cuma dua suap terus langsung jalan. Memang susah jaga badan. Aku dulu, sebelum punya anak, susah banget gemuk. Setelah punya anak aku kan naik 27 kilogram habis itu susah banget nuruninnya. Aku bisa nurunin karena netekin anak sampai delapan bulan. Kita itu dikasih Allah badan yang bener-bener masuk akal. Jadi waktu kita netekin itu otomatis membuang kalori. Terus rahim kita yang dulunya di atas itu turun. Jadi itu semua natural, balik normal. Ya mungkin karena karakter aku dulu kan kecil ya, kerempeng. Dulu aku pernah coba pilates, tapi sekarang sudah berhenti karena enggak ada waktu. Kepengennya sih lebih berotot sedikit.
Anda kini bukan hanya penyanyi tapi juga melakukan kegiatan sosial bersama Bill Clinton, dan sebagainya. Sekarang nyanyi ada di porsi berapa dalam prioritas hidup Anda?
Itu sukar. Kan aku kerja sama dengan PBB sudah enam tahun. Jadi buat aku, setiap kali mereka membutuhkan, aku harus sebisa mungkin memaksimalkan waktu untuk mereka. Seperti sepuluh hari lalu di Beijing, ada rapat International Year of Forest. Aku di situ harus pidato karena pangan dan pertanian sangat terkait dengan hutan. Satu miliar orang hidup dari hutan. Kebetulan pada saat itu albumku baru saja dirilis di hari yang sama di Prancis. Perusahaan rekaman juga komplain, ini album keluar artisnya malah ke mana. Tapi kupikir promonya bisa kulakukan sebelum dan sesudah acara di Beijing. Dan aku juga sudah promo. Walhasil aku bilang sama orang PBB, aku bisa datang tapi enggak bisa lama. Jadi malam aku datang, besoknya rapat, malamnya aku balik ke Prancis. Yang membayar semua badanku. Badanku kayak dipukulin satu RT saking capeknya. Tapi mau enggak mau memang ini komitmen.
Mana yang paling prioritas?
Emang ada satu yang harus dikorbanin. At the end kan demi kepentingan bersama.

Anda benar akan lebih banyak melakukan kegiatan charity setelah pensiun jadi penyanyi?
Bukan charity ya. Banyak sekali orang yang ngumpet di balik kata charity, pada akhirnya malah menyembunyikan hal-hal baik.
Misi sosial apa yang menjadi fokus Anda?
Lebih ke anak-anak. Kayak beberapa tahun lalu, aku sempat ke daerah Dadap, dekat Cengkareng. Di situ banyak anak-anak yang bukan yatim piatu, ibunya ada tapi jadi pekerja seks. Tapi bapaknya enggak tahu. Jadi anak-anak itu masih kecil-kecil enggak sekolah, kurang gizi. Kami pernah ke sana, bawa bot karena daerah itu gampang banjir. Aku tuh ingin bikin rumah atau yayasan untuk kasus-kasus seperti ini. Banyak di daerah lain yang juga seperti ini. Anak-anak hasil hubungan dari wanita pekerja seks yang ditelantarkan. Oke, nulis lagu, nyanyi, hibur orang, bagus. Tapi aku tuh enggak kepengen hidupku hanya menghibur orang. Ingin sesuatu yang buat aku hidup di dunia cuma sementara ada misinya. Aku tuh kepengen berarti.
Anda sudah menjadi warga dunia. Apakah identitas sebagai orang Jawa masih melekatkah di dalam diri Anda?
Identitas itu akan selalu melekat selama orang itu hidup. Terus terang aku enggak bangun setiap pagi langsung berpikir, oh ya aku ini orang Jawa. Tapi dengan sendirinya, aku itu bergerak sebagai perempuan dan perempuan timur.
Bisa dijelaskan definisi Anda sebagai orang timur dan perempuan itu?
Pertama enggak tegaan. Makanya mungkin aku enggak cocok hidup di Amerika yang segala sesuatu sangat memikirkan kepentingan sendiri. Aku itu punya ambisi tapi enggak selalu itu diukur dengan uang. Bisa juga berhasil tapi enggak ngoyo banget. Yang penting, buat aku itu, harus baik sama orang. Enggak boleh sombong.
Bagaimana Anda sebagai orang Indonesia berkompetisi dalam persaingan yang ketat?
Aku tuh enggak sendirian. Di belakang ada tim yang banyak. Buat aku,aku konsentrasi cuma musikku, di seniku. Yang lain mereka yang mengurusi. Sebenarnya susah-susah gampang. Susahnya bagaimana menemukan teman kerja yang akan membela terus no matter what. Secara prinsip kerja atau cara kerja itu berbeda banget dengan di Indonesia. Itu kerja beneran. Kalau di Indonesia, janjian bisa satu hari. Di sana enggak seperti itu. Kita juga memerlukan profesionalisme dari pihak yang di depan kita. Jangan sampai waktuku yang sedikit itu dihabiskan untuk nunggu hal yang enggak efisien.
Benar dulu Anda mengalami gegar budaya ketika pertama kali datang?
Iya, mungkin melihat saja cara mainnya beda. Culture shocked sih ada di mana-mana. Sebenarnya mengatasinya gampang, harus terima bahwa itu akan berbeda. Kalau sudah menerima itu, akan biasa saja.
Di Prancis Anda memakai bahasa apa?
Pakai bahasa Indonesia dengan Kirana. Karena mamahnya juga pakai bahasa Indonesia.

Seberapa jauh Anda mengenalkan nilai-nilai budaya dari daerah asal Anda untuk orang terdekat Anda?
Enggak ngerti gimana jawabnya. Kan kita enggak punya buku manual. Orang Jawa itu harus begini, begitu. Paling yang aku ingat dari eyangku, orang Jawa itu kalau ke tempat tidur itu pantatnya dulu baru boleh kakinya. Lebih halus, lebih bagus. Jangan kakinya dulu, entar ke mana-mana, jeroane metu mbak. Kalau menunjuk itu jangan pakai telunjuk tapi pakai jempol agar lebih sopan.
Bagaimana Anda membiasakan anak Anda berbahasa Indonesia dan kadang berbahasa Prancis?
Dia tahu setiap kali saya dan Denise (stylist Anggun) berbicara pasti pakai Bahasa Indonesia. Setiap kali Denise datang ke rumah, Kirana pasti tahu saya dan Denise pakai Bahasa Indonesia. Saya enggak pernah campur bahasa kalau ngomong sama Kirana. Kalau lihat papanya, ngomongnya pakai bahasa Prancis begitu juga dengan orang-orang lain. Papanya kalau berusaha ngomong bahasa Indonesia sama dia, dia langsung aaahh (dengan mengekpresikan wajah geli) enggak terima. Jadi buat dia sudah dititahkan di kepala dan mata dia, jadi enggak pernah campur-campur.
Boleh diceritakan bagaimana anak Anda?
Aduh, perempuan banget. Semua itu harus pink atau fuchsia. Kan aku suka bilang sama dia, “Kirana nanti malam mamah mau pakai baju ini, bagus enggak?” Kalau yang saya tunjukkan hitam, dia bilang: “Enggak, enggak bagus. Warnanya gelap-gelap.” Lalu dia masuk mengambil bajunya, “Pakai baju ini aja.” Dia sodorin bajunya yang lengannya gembung, ala princess, yang norak-norak pakai payet. Jadi aku di sebelah dia itu kesannya tomboi banget. Sementara dia yang feminin. Gayanya sudah kayak Suri Cruise.
Anda menerapkan aturan yang cukup banyak bagi wartawan yang ingin wawancara yakni larangan menanyakan hal-hal bersifat privasi. Kapan Anda merasa perlu menerapkan itu?
Semenjak punya anak. Makanya banyak sekali yang minta foto sama anak. Lho anakku itu siapa, dia bukan public figure. Bukan keputusan dia menjadi anakku. Jadi mengapa aku harus mengekposenya? Buat aku hidup pribadi, ya bukan untuk umum. Justru malah sedih. Di sini banyak sekali infotainment lalu menjadi kultur. Itu kan kultur yang jelek. Jadi mestinya kita sebagai artis juga harus bertanggung jawab dengan kondisi dan isi informasi yang kita beri.
Lebih bagus orang kita kasih informasi yang menarik dan berbobot daripada kabar kekasih yang menyeleweng. Kalau aku lihat infotainment itu suka aneh. (Tayangan) di rumah sakit, (berita tentang seorang artis) pembukaan (kelahiran) itu sudah dua, diceritakan. Please deh. Oke lah cerita tentang keluarga, tapi informasi seperti itu harus ada batasnya. Itu selalu aku lakukan dan itu penting untuk perkembangan dan pertumbuhan isi kepala kita. Kalau semua tidak dibatasi, orang tinggal ambil. No. Hidup pribadiku untuk pribadiku. Yang aku kasih itu semua yang aku kontrol: musikku, lagu-laguku, tukar pikiran. Tapi yang lain jangan, karena itu punya aku pribadi.
Di Twitter, Anda mengunggah foto kaki Kirana. Seberapa jauh Anda membagi foto Kirana
Hahaha. Yang penting mukanya jangan. Kadang-kadang aku kan ingin mengunggah foto anak, namanya juga ibu-ibulah karena fotonya bagus jadi aku taruh.
Bolehkah dibagi resep kita sebagai orang Asia hidup di Prancis?
Oh orang Asia termasuk jenis etnis yang kalem dibandingkan dengan etnis yang lain. Di Prancis, Asia bukan etnis yang mencari-cari masalah. Karena kebanyakan orang Asia itu hidupnya dengan orang-orang Asia. Enggak nyampur-nyampur, itu yang aku sayangkan. Aku begitu sampai di Prancis malah enggak mau bertemu orang Indonesia. Biar lancar Bahasa Prancisku. Bukannya sombong, bukannya ingin melupakan Bahasa Indonesia, tapi karena aku di situ untuk belajar. Jadi, mau enggak mau harus melebur.
Anda masih makan nasi?
Masih. Setiap hari harus makan nasi, ya sesuap dua suap lah. Kan kami punya rice cooker dong, hahaha. Dan Kirana makan nasi. Kadang dia enggak mau nasi, maunya pasta, atau lauknya saja. Aku enggak mau maksa anakku, tapi aku suka bilang, “Kamu pilih makan apa? Nanti Mama kasih. Kalau enggak, kamu mending enggak usah makan, masuk aja ke kamar.” Kirana tahu banget bahwa ada orang miskin, orang yang nggak punya uang, enggak punya rumah, jadi sekarang dia enggak mau membuang makanan. Aku kan ceritakan pekerjaan sosial aku.
Anda masak sendiri?
Ya. Pokoknya setiap kali punya waktu pasti masak. Tapi kalau masak biasanya enggak cuma buat dua orang. Buat 12 orang. Bikin opor ayam yang banyak. Sepanci opor atau sepanci semur. Biasanya sebelum aku pergi lama kayak begini, semingguan, aku sudah bikin lalu suamiku taruh di freezer.
Makanan apa yang menurut Anda paling jago?
Semur. Kan Jawa banget.
Semur jengkol?
Wah, enggak ada jengkol di sana. Aku lebih suka jengkol dari pada pete.
Anda brand minded?
Tergantung. Aku kalau sepatu suka Louboutin. Aku suka karena solnya merah. Karena model sepatu dia itu bagus untuk panggung, untuk foto, dan sangat feminin. Aku kan selalu pakai hak dan enggak banyak orang yang pakai. Itu kan tergantung bagaimana lekukan kaki. Aku kalau pakai Louboutin itu lekukannya pas.
Konser di Indonesia Anda menggunakan perancang Indonesia. Ini cuma selama konser di Indonesia atau juga konser di Eropa?
Kalau saya konser di Eropa sukar sekali ketemu perancang Indonesia. Paling saya ketemu Didit Hediprasetyo. Dia kan tinggal di Paris. Dia juga sudah show di Prancis dua kali. Aku bisa pakai baju rancangan dia, tapi yang lain enggak ada. Makanya begitu datang ke sini, aku langsung lihat siapa perancang yang lagi in. Aku dapat Tex Saverio lalu perancang baru namanya Mel Ahyar. Kalau Didit kan teman. Temanku yang desainer juga banyak, tapi mereka sudah jaya.
Ngomong-ngomong rambut Anda mengapa dari dulu sampai sekarang panjang terus?
Pernah dipotong sekali tahun 2001, sebahu, tapi sudah itu nyesel. Mungkin karena sudah kebiasaan panjang jadi kalau dipotong pendek kagok aja. Dan kayaknya aku enggak punya muka yang pantas rambutnya dipatahin. Njawani to? Hahahaha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar