Kamis, 10 Maret 2011
Pidato Goenawan Mohamad di Ulang Tahun Tempo ke 40
Bapak Presiden Republik Indonesia, H. Dr. Soesilo Bambang Yudhoyono yang saya hormati.
Para pejabat Negara, para tokoh masyarakat di segala bidang yang hadir di sini, yang saya hormati.
Para wartawan dan alumni Tempo yang saya cintai.
Para tamu semuanya.
Assalamualaikum wr. Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Om swasti astu.
Merdeka.
**
Dalam hidup manusia, umur bukanlah satu bahan percakapan yang menarik — terutama bagi orang seusia saya.
Kata pelawak Groucho Marx, ·”Age is not a particularly interesting subject. Anyone can get old. All you have to do is live long enough. ”
Jadi mudah sekali sebenarnya untuk bertambah umur. Asal tidak cepat mati.
Tapi dalam hidup sebuah majalah, tidak cepat mati adalah sebuah prestasi. Terutama bagi Tempo, yang di masa lalu, pernah dua kali dicoba dibungkam oleh pemerintah Orde Baru, yang sangat berkuasa.
Kini tak ada pembungkaman, syukur alhamdulilah — biar pun setelah Tempo mengritik Presiden. Paling-paling Menteri Sekneg, Bapak Dipo Alam, akan memprotes – tidak mengancam. Dan kalaupun mengancam, tidak akan membunuh.
Dengan suasana yang kondusif seperti itu, kita bisa bekerja dengan bersemangat. Tapi bukannya tak ada penghadang-penghadang yang lain.
Kini sebuah media cetak memasuki sebuah era baru. Inilah masa ketika dua perkembangan bertemu sekaligus.
Pertama, dengan kemerdekaan berbicara yang dikukuhkan UUD, media elektronik seperti TV – yang dulu terkekang — dengan serta merta menyeruak. Ia bahkan jadi sumber utama bagi informasi orang Indonesia, jauh lebih banyak diikuti khalayak ketimbang surat kabar – terlepas dari tinggi rendahnya mutu informasi yang melalui TV itu.
Kedua, sekarang ini informasi lewat internet membuat lalulintas berita berlipat kali lebih cepat ketimbang mingguan maupun harian, dan makin lama makin dapat peminat yang luas.
Kedua kemajuan itu menghadirkan persaingan yang tak mudah bagi majalah dan Koran Tempo.
Seraya mengatakan demikian, saya tak ingin menjadikan malam ini
Sebab malam ini memang sepenuhnya kesempatan untuk syukuran. Setidaknya, di ruang ini sekarang, saya merasa jadi orang berbahagia.
Saya pribadi merasa bahagia – atau lebih tepat lega — karena saya tidak lagi harus ikut bergulat dalam persaingan yang saya sebutu tadi. Sudah 10 tahun saya tidak punya kantor di Tempo. Kurang-lebih sudah selama itu pula saya tak mengikuti rapat-rapat redaksinya. Jabatan saya sekarang ‘redaktur senior’ , semacam ‘redaktur emeritus’ — sebuah sapaan yang sopan dari Tempo untuk saya. (Tanpa gaji, tentu saja, hanya honor bila menyumbangkan tulisan).
Tapi justru karena berada di luar kerja keras itu – di luar perjuangan persaingan itu – bila malam ini saya nyatakan kekaguman saya kepada tim yang bekerja di Majalah dan Koran Tempo sekarang, saya tidak seperti sedang bertepuk tangan untuk diri sendiri.
Tim yang bekerja sekarang menjalankan tugasnya dengan kesadaran bahwa tempat mereka mengembangkan karir bukanlah sebuah bisnis besar. Laba rata-rata setahunnya jauh lebih kecil ketimbang uang yang diterima orang macam Gayus Tambunan dalam sehari.
Tim yang bekerja sekarang sadar pula, bahwa masih ada wartawan-wartawan yang dibunuh atau docoba dibunuh. Juga mereka masih melihat ada pihak-pihak yang menggunakan proses hukum untuk menggertak keleluasaan mengritik. Ingat bahwa proses hukum mahal dan bisa mengganggu konsentrasi kerja, banyak suratkabar memilih jalan yang aman untuk tidak menulis hal-hal yang berarti.
Meskipun demikian, teman-teman itu bekerja terus. Penuh dengan disiplin, entusiasme, dan juga kebanggaan.
Saya terharu bahwa dalam majalah Tempo yang untuk menyambut ulang tahun ke-40 ini, mereka menyebut kembali asas jurnalisme yang diletakkan para pemula di tahun 1971 – di tahun ketika banyak di antara mereka belum lagi lahir atau bersekolah dasar.
Bahwa asas itu masih dipegang, itu merupakan sumber enersi tersendiri.
Bagi yang belum tahu izinkanlah saya mengutipnya sedikit.
Bagi yang belum tahu izinkanlah saya mengutipnya sedikit.
Asas jurnalime Tempo, demikian tercantum dalam teks itu, bertolak dari “kepercayaan bahwa kebajikan, juga ketidak-bajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak.”
“Kami percaya bahwa tugas jurnalisme bukanlah menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian.
“Majalah ini bukanlah untuk mencaci dan mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk untuk menjilat dan menghamba”.
Bapak Presiden dan hadirin sekalian.
Saya yakin, dengan bekerja sebagai wartawan yang punya pendirian seperti itu, jurnalisme akan mampu membantu terbangunnya modal sosial di tanah air kita. Jurnalisme yang tak didikte oleh ambisi politik dan kekuatan modal; jurnalisme yang ingin menegaskan: banyak keculasan di negeri ini, tapi tiap kita bisa melawannya.
Dengan itulah harapan bisa dibangun tiap hari. Untuk publik. Untuk Republik.
Sekian.
Wassalamualaikum wr.wb. Goenawan Mohamad
Langganan:
Postingan (Atom)