Foto by: www.gradesaver.com |
Kutut
Manggung. Pertama kali mendengar tembang itu saat umur saya masih
sekitar 7 tahun. Bapak biasa melantunkan syair itu saat meninabobokan
adik saya yang nomor 3 dan 4. Saat rewel, Bapak mengambil adik saya
dari ayunan yang terbuat dari kain gendong. Caranya persis seperti
mbok emban dalam serial ketoprak. Sambil mengayun-ayunkan bayi mungil
di tangan, Bapak biasa nembang jawa.
Mulai
dari tak lelo-lelo ledhung, putro nuswantoro, sampai kutut manggung.
Biasanya dalam tiga atau empat lagu, si jabang bayi bisa terlelap.
Saya dan mungkin juga Bapak tak perna terpikir untuk mencari makna
dari setiap syarir yang dilantunkan. Baru akhir-akhir ini saya
mencoba peduli dan mencari maksud tersirat dalam setiap lagu
tersebut.
Tak
banyak literatur yang mengulas makna dari tembang jawa tersebut.
Bahkan nyaris tidak ada.
Khususnya tembang Kutut Manggung. Beruntung
saya akhirnya menemukan sedikit gambaran tentang lagu yang sempat
dipopulerkan oleh Nyi Tjondro Lukito tersebut. Adalah Ahmad Thohari
yang sedikit menukilkannya dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, di
buku ketiga. Menurut beliau, lagu Kutut Manggung adalah sebuah
langen swara berahi yang digubah demikian halus. Penuh selera
estetik
dan jelas sekali lahir dari wawasan tentang kehidupan yang mendasar.
Kutut
manggung adalah penghayatan atas naluri keprimitifan berahi dalam
tertib nilai tertentu yang membedakan berahi manusia dan berahi
primata semacam kera. Dia bertanggung jawab dan memiliki arah yang
pasti yakni garis perhubungan antara manusia dan selera Penguasa
Alam. Dia halus sehingga hanya orang dewasa tertentu bisa mengerti
apa yang dimaksud wis wayahe lingsir wengi, perkutute arsa muni
atau perkutute njaluk
ngombe.
Kutut
manggung adalah pelukisan hasrat perhubungan ragawi antara lelaki dan
perempuan dalam
wawasan
tertib kosmik; bahwa si lelaki dan si perempuan adalah suami-istri,
dan bahwa motivasi
perhubungan
ragawi itu adalah upaya mencapai tata-raharjaning bangsa manusia
yakni keselarasan hidup.
Namun
wawasan berahi kutut manggung juga memberi tempat kepada aspek
'humaniora', sehingga meski kudus dan sakral maka perhubungan berahi
yang tertib itu masih juga mengandung kadar kegenitan. Maka ada
anggunge memanas ati, yakni pergombalan yang merangsang hati.
Juga
dalam senggakan kutut manggung ada warna kemesraan, namun dalam gaya
euphemisme sehingga wilayah kecabulan tak perlu terjamah.
ngan
yang telah meluluhkan martabat kemanusiaannya.
Ini
Lirik lengkapnya:
Perku…tute…e…e…, roso…o…o…o…
MUni…i…i…i…, ning plang…a…a…a…
Kringa…a…a…an…,
anggung nyo ma…a…a…a..na..a..as…A…a…ti…
Hur ketekung…ku..ng…ku…ng….
Hur ketekung…ku..ng…ku..u.u…ng….
Monggo monggo monggo…,monggo monggo…
Monggo, monggo alah monggo monggo
Nggo monggo monggo, monggo..o…
Midanget eng…kang…saa.a.a.ke..e…co…
Pramito…kang mi…i…nulyo…o…o…
Sugeng rawuhipun…,”
Sore-sore…, yo lah bapak
Perkutute njaluk ngombe…
Yo bapak, bapakku de..we…
Ombe..en mben omben, omben omben omben…
Mben omben, mben omben omben omben…
Ombenono e…manuke kutut…
Atak omben, omben omben ombenono..
Satitik banyune.. to…wo…
Gones luwes sak sola…he…
Paka…a…an….no…no…
Tak pakan tak pakan pakan paka..an
Atak pakan pakan pakan, pakan pakano..no…
E..manuke kutut, atak pakan pakan pakan pakanono
Setitik berase…ce…mpo…,gones gones wicarane..
Trahing noto…, trahi..ng…no…to…
Yo bapak, bapakku de…we…
Trahing noto…risang…danang joyo
Mulo pancen kewek-kewek dewe
Mulo pancen kewek-kewek dewe
Den prayitno sabarang hayuo se…mbrono…
Aduh..to lae wo..ng bagu…s,
Yen tan weruh…
Yo lah bapak, perkutute manas manas a…a…ti…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar