Ini dialog imajiner. Muncul saat ada
fatwa oleh segolongan ulama yang mengharamkan penukaran uang receh di
jalanan. Dialog terjadi di padukuhan Sumber Agung nun jauh di pelosok
pinggiran kota Bengawan. Antara Kiai Mangun dengan Erwin, sepuluh
tahun yang lalu. Kiai Mangun adalah salah satu tokoh ulama terpandang
di desa berpenduduk 120 keluarga itu. Dia juga merupakan salah satu
tokoh organisasi keagamaan di Jawa.
Erwin : Kiai,
nuwun sewu,
saya dengar ulama mengharamkan penukaran uang receh di pinggir jalan?
Ini apa dasar hukumnya kiai?
Kiai Mangun :
Itu sama dengan riba, termasuk kegiatan jual-beli uang yang
diharamkan oleh Islam.
Erwin: :
Sebentar kiai, unsur ribanya di mana?
--
rokok filter bermerk Minak Jinggo (saya gak tau apa saat ini masih
ada merek rokok ini) di bibir Kiai Mangun dinyalakan lagi setelah
sempat mati. Entah sudah berapa batang rokok dia habiskan. Yang
pasti asbak dari klobot atau kulit jagung di depannya sudah penuh
abu--
Kiai Mangun : Begini
nak, penukaran uang receh termasuk riba, karena misalnya
satu lembar pecahan sepuluh ribu ditukar hanya dengan sembilan lembar
pecahan seribu, atau sembilan ribu rupiah. Transaksi penukaran uang
receh dalam mata uang Rupiah tidak bisa dipersamakan dengan transaksi
penukaran uang ke dalam mata uang negara lain.
Erwin : Tapi
kiai, misalnya begini kiai. Saya tidak sempat menukar uang receh ke
Bank Indonesia. Kemudian saya menukar ke orang yang menjajakan di
pinggir jalan. Saya tidak menganggap bahwa selisih seribu atau dua
ribu ini sebagai bunga. Tapi jasa dia yang telah antri di Bank
Indonesia. Selisih itu bukan saya memberi bunga, tapi imbalan atas
jasanya. Tentunya untuk sampai di Sumber Agung, si pedagang uang ini
harus mengeluarkan ongkos karena rumahnya di Solo.
Kiai Mangun :
Prinsip adalam Islam jelas, jual beli uang itu haram.
Erwin :
Baik Pak Kiai, haruskan saya sebagai umat mematuhi seandainya para
ulama mengelurakan fatwa mengharamkan penukaran uang receh di jalan
menjelang lebaran?
Kiai Mangun :
Jelas sebagai umat diperintahkan untuk mematuhi Ulil amri, pemimpin.
Dan pemimpin agama adalah ulama.
Erwin : Maaf
kiai, apa dasarnya seseorang ditunjuk sebagai ulama? Karena ilmu,
ketokohan atau keturunan?
Kiai Mangun :
Ketiga-tiganya bisa. Tapi yang jelas karena dia mempunyai ilmu
linuwih.
Erwin : Kiai,
saya bukan ahli agama. Bolehkah saya mengeluarkan fatwa?
Kiai Mangun :
Boleh, tapi siapa yang mau nurut fatwamu, karena kamu bukan ulama dan
tidak tercantum dalam organisasi resmi.
Erwin
: Wah itu artinya tidak fair
dong. Begini saja kiai, bagaimana saya harus mematuhi para Kiai,
sementara ada perilakunya yang menurut saya justru haram.
Kiai Mangun :
Lho apa itu?
Erwin :
Ngerokok. Saya bukan ulama,
kiai atau tokoh agama. Tapi saya mengharamkan rokok. Alasannya jelas,
Rasul tak pernah merokok. Kandungan dalam rokok jelas merusak organ
tubuh, mendatangkan penyakit. Artinya kita manusia tidak mensyukuri
nikmat sehat dari Allah. Tidak mensyukuri organ paru-paru yang
dikaruniakan Allah, tapi justru merusak. Kita tidak amanah Kiai. Dan
itu berarti haram.
Kiai
Manung, tertawa. Tawa seorang yang merasa linuwih. Karena memang
selain sudah berusia lanjut, suaranya banyak didengar oleh
masyarakat. Sementara saya baru tamat SMA.
Kiai Mangun :
Hah, tau apa kamu soal agama. Sudah sana belajar nyantri dulu. Biar
makin taat agama.
Erwin :
Lho tapi kita sebagai umat diberi kesempatan untuk Ijtihad. ---usaha
yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa
saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara
yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat
menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang--
Kiai Mangun :
Bahaya kalau ijtihad dilakukan
oleh orang yang tak berilmu Nak..
--obrolan
kami terputus. Suara adzan maghrib memanggil--
Selamat
malam ki Sanak--
Selamat
berakhir pekan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar