artikel ini dimuat di Koran Tempo edisi Minggu 7 Juni
Buruk Pelayanan Derita PasienMasih banyak penyedia layanan medis yang belum berorientasi pada kepentingan dan kepuasan pasien.
Prita Mulyasari tentu tak menyangka bakal menjadi pesakitan. Keluhannya atas pelayanan rumah sakit yang tak memuaskan justru berbuah tuntutan. Surat elektronik yang ia kirimkan kepada beberapa temannya dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit. Ibu dua anak ini sempat ditahan di lembaga pemasyarakatan sekitar tiga pekan.
Ya, Prita hanyalah satu dari sekian banyak pasien di negeri ini yang tak tahu mesti ke mana mengadu ketika dikecewakan rumah sakit. Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia mencatat, setidaknya ada 500 pengaduan yang masuk ke lembaganya sepanjang 1998-2008. Rata-rata keluhannya: tak diberi layanan dan informasi yang memuaskan oleh rumah sakit.
Bila ditilik lebih jauh, kasus Prita, yang masih bergulir, menunjukkan betapa lemahnya perlindungan terhadap pasien. Kebetulan kasus tersebut muncul di media dan menjadi berita besar. Masih banyak Prita lain yang bernasib serupa, bahkan boleh jadi lebih buruk lagi.
***
Saban berobat ke rumah sakit, Jajang selalu menemui masalah. Berturut-turut, pria 34 tahun itu mendapat pelayanan mengecewakan di tiga rumah sakit berbeda. Dua tahun lalu, dia mengantar ayahnya ke sebuah rumah sakit di Sukabumi, Jawa Barat, karena mendadak lemas.
Sepekan ayah Jajang dirawat di rumah sakit tersebut, sudah lima kali dokter mengganti jenis obat. Pertama diberi obat penenang dosis tinggi. Lalu diganti dengan jenis obat yang lain. "Begitu seterusnya, sampai terulang lima kali," kata Jajang.
Merasa ada yang tidak beres, Jajang bertanya kepada dokter dan perawat. Namun, jawaban mereka tak memuaskan Jajang. Barulah, setelah berdebat secara ilmiah, pihak dokter dan rumah sakit mulai serius menangani ayah Jajang.
Awal tahun ini, pengalaman mengecewakan kembali dialami Jajang ketika mengantar istrinya ke sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Sang istri diduga terkena demam berdarah.
Karena datangnya pada malam hari, istrinya hanya ditangani perawat dan diberi infus. Jajang dijanjikan bahwa dokter baru bisa datang besok malam. Dia pun memprotes pihak rumah sakit. Setelah protes itulah baru keesokan paginya dokter datang.
Dan Rabu malam lalu, Jajang kembali dikecewakan rumah sakit. Dia mengantar ibunya, yang menderita sakit dada, ke sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Ini untuk kesekian kalinya dia mengantar sang ibu di rumah sakit tersebut.
Malam itu, dokter yang biasanya merawat ibunya tak ada, sehingga dilimpahkan ke dokter lain. Setelah menyerahkan kartu berobat, suster sibuk mencari rekam medis pasien. Karena rekam medis sang ibu tak ditemukan, tanpa sepengetahuan Jajang, dibuatlah rekam medis baru sesuai dengan nomor kartu berobat.
Saat menuju ke ruangan dokter, Jajang secara iseng membuka catatan rekam medis. Betapa terkejut dia, "Ternyata rekam medis itu kosong, nggak ada catatannya sama sekali," Jajang menuturkan.
Padahal, sebelumnya, sudah dilakukan pelbagai pemeriksaan, termasuk rekam jantung dan roentgen. Untungnya, Jajang waktu itu membawa salinan resep yang diberikan sebelumnya. "Kalau tidak bawa resep, ya, dokter memeriksa dari awal lagi."
Lain lagi pengalaman Yudi. Tahun lalu, pria 28 tahun itu berobat di sebuah rumah sakit di Solo, Jawa Tengah, karena perut bagian kiri bawahnya sakit. Karena saat itu hari libur nasional, dia tak segera ditangani dokter.
Dokter baru memeriksa Yudi pada keesokan harinya. Dia dinyatakan mengalami masalah pada usus buntu dan harus menjalani operasi esok harinya. Sambil menunggu operasi, dia menerima suntikan dan obat.
Karena penasaran, sebelum operasi, Yudi minta di-roentgen. Hasilnya, ternyata salah satu bagian tulang pinggulnya retak. Dan sakit yang diderita Yudi bukan karena usus buntu. "Saya keluar biaya yang mestinya tidak perlu," tutur Yudi, yang mengisahkan kembali pengalamannya itu dengan masygul.
Dan hari-hari ini kita dikejutkan oleh kasus Prita Mulyasari, pasien yang justru diperkarakan oleh rumah sakit yang merawatnya. Pangkal persoalannya adalah pengajuan protes Prita atas layanan yang dinilai tak memuaskannya. Dia menganggap rumah sakit dan dokter tak memberikan hak kepadanya sebagai pasien. Pertanyaan tentang jenis penyakit yang ia derita dijawab sekenanya oleh dokter.
Prita kecewa. Merasa tak mendapat tanggapan, karyawati sebuah bank swasta itu lantas menumpahkan kekecewaannya itu lewat surat elektronik. Apa daya, Prita justru harus berhadapan dengan meja hijau.
Begitulah. Menurut Kartono Mohamad, peristiwa yang dialami Jajang, Yudi, dan Prita boleh dibilang merupakan cermin betapa karut-marutnya pelayanan rumah sakit di Indonesia.
Mantan Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia itu menyatakan masih banyak penyedia layanan medis di sini yang belum sepenuhnya berorientasi pada kepentingan atau kepuasan pasien. "Mereka belum menjadikan kualitas layanan sebagai acuan," ujar Kartono.
Terjadi pola hubungan yang tak seimbang antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Kartono menyatakan penyedia layanan kesehatan merasa sebagai pihak yang paling tahu akan penyakit, sedangkan pasien dianggap tak tahu apa-apa, sehingga apa pun kata dokter tak boleh dibantah pasien. "Pasien tidak berani bertanya, dokter enggan menjelaskan."
Tak seimbangnya hubungan antara penyedia layanan kesehatan dan pasien itu harus diubah. Menurut Kartono, tenaga medis--sebagai pihak yang selama ini dianggap paling kuat--harus mengambil inisiatif. "Apa pun yang berhubungan dengan penyakit pasien harus dijelaskan, meski tidak ditanyakan."
Seharusnya, tutur Kartono, hubungan pasien dengan penyedia layanan kesehatan adalah sebagai partner. Hubungannya sejajar. Penyedia layanan kesehatan bekerja sama dengan pasien demi sembuhnya pasien. "Apa penyakit bisa sembuh kalau pasien tidak mau menuruti perintah dan nasihat dokter," ujarnya.
Hal senada dilontarkan Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia. Menurut Marius, selama ini pasien masih sering dijadikan obyek, bukan subyek.
Kalau tak diminta, tutur Marius, rumah sakit atau penyedia layanan kesehatan cenderung tak memberikan hak-hak pasien. Mestinya, bila mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, hak-hak itu diberikan. "Tanpa diminta sekalipun," katanya.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Medis Departemen Kesehatan Farid Husein yakin rumah sakit dan dokter sudah menjalankan kewajiban sesuai dengan undang-undang. Menurut Farid, kalaupun masih ada, itu tak bisa dipukul rata bahwa pelayanan seluruh rumah sakit mengecewakan.
Saat pasien datang berobat, Farid mengilustrasikan, dokter selalu menanyakan sakit yang diderita. Setelah mendapat informasi dari pasien, dokter menjelaskan jenis penyakitnya. "Makanya pasien juga harus memberikan informasi yang benar dan jujur," katanya.
Farid menyatakan dokter juga manusia--yang dalam bekerja acap kali menggunakan bantuan alat. "Sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya kesalahan seperti dalam kasus Prita Mulyasari."
Dalam kondisi itu, Farid menambahkan, dokter berhak menolak memberikan isi hasil rekam medis yang salah. Hanya, pasien tetap harus diberi penjelasan tentang adanya kesalahan berikut revisinya.
Hal yang sama dikatakan Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Adib Yahya. Menurut Adib, sejauh ini, baik penyedia layanan kesehatan maupun tenaga medis telah melaksanakan fungsinya sebagai pelayan masyarakat.
Adib menyatakan pasien dianggap sebagai mitra sejajar. Terjadi dialog antara pasien dan tenaga medis. Memang, idealnya, begitu pasien masuk, dokter menjelaskan hak-hak pasien.
Tapi di lapangan, dokter tak mungkin menjelaskan kepada setiap pasien yang datang satu per satu soal hak-hak yang diterima. "Yang penting kan bukan penjelasannya, melainkan hak-haknya dipenuhi," katanya.
Misalnya, Adib menambahkan, informasi tentang penyakit pasien selalu diberikan oleh tenaga medis. Hanya, tak mungkin diberikan penjelasan secara mendetail dan terperinci dengan bahasa ilmiah kedokteran. "Bisa-bisa malah pasien tambah bingung."
Karena itu, semua narasumber menyarankan, pasien yang merasa hak-haknya tak diberikan langsung memprotes pihak rumah sakit atau tenaga medis.
Jika protes itu tak ditanggapi, pasien bisa mengadu ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Departemen Kesehatan, atau Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia. Kalau masih buntu, "Bisa juga melapor ke aparat hukum." ERWIN DARIYANTO