Demo menolak kenaikan harga BBM di Cikini (Foto-detikcom)
Bila Jokowi ada diplomasi di meja makan, aku pun juga melakukannya. Hanya bedanya aku lakukan itu di meja makan saat bersantap sarapan, dan seringnya untuk 'merayu' istri atau anakku, Najma.
Mengapa diplomasi sarapan?. Jawabannya sederhana, ya karena kami bisa punya waktu lebih selain hari libur adalah saat jam makan pagi alias sarapan.
Di meja makan saat sarapan itulah saya mencoba melakukan 'diplomasi' yang terkadang ngalor ngidul tanpa arah. Yaah.. paling tidak aku bisa merasa lebih dekat dengan mereka.
Hingga kini aku tetap tak habis pikir, restoran cepat saji seperti McD dan KFC selalu ramai oleh pengunjung. Rata-rata yang jajan adalah anak-anak, beberapa juga ada remaja dan segelintir yang berusia menjelang tua.
Sabtu (15/11/2014) malam lalu misalnya, bersama istri dan anakku aku mampir di sebuah restoran cepat saji di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Dan seperti biasa pembeli harus antre beberapa meter di'warung saji' ini sebelum bersantap.
Sekian lama sudah blog ini tak saya isi. Hari ini tiba-tiba saya berniat mengisi karena terusik oleh artikel Tentang Ayah yang ditulis oleh seorang kawan.
*****
Suasana lebaran masih terasa di Desa Sumberagung, Celep, Nguter, Sukoharjo pada Jumat petang, 1 Agustus 2014. Menjelang Isya itu aku sendirian ke rumah masa kecilku. Aku, Bapak dan Ibu hanya bertiga ngobrol ngalur ngidul.
Sampai saat jarum jam hendak menyentuh angka sembilan, aku minta izin Sholat Isya di kamar Bapak. Usai Sholat aku tiduran di ranjang sambil membaca sebuah buku Mahabarata yang sepertinya belum selesai dibaca Bapak.
Tak terasa aku tertidur, hingga terbangun menjelang jam 11 malam ketika terdengar suara langkah kaki menjauh dari kamar. Rupanya Bapak baru saja masuk ke kamar, menyelimuti sebagian tubuhku agar tak kedinginan. Maklum udara kampungku yang tak jauh dari kaki Gunung Lawu cukup dingin di malam hari.
Rupanya bapak tak ingin anaknya yang bandel di waktu kecil ini kedinginan sehingga perlu memberikan selimut.
Saat aku sibak selimut terlihat bercak darah di bagian lutut. Darah dari nyamuk yang mungkin hinggap dan mengigit saat aku terlelap. Tak hanya di kaki, di dinding kamar ada beberapa bercak darah nyamuk.
Bapak tak mau putranya yang tak lagi bocah ini menderita, merasakan sakit meski hanya oleh gigitan seekor nyamuk sekalipun.
Di luar kamar aku lihat, Bapak hendak berniat tidur di atas Sofa ruang tamu. Sementara Ibu sudah lebih dulu terlelap di atas karpet persis di depan Televisi.
Demi seorang putra yang entah berapa kali telah menyakiti dan mengecewakannya, Bapak tetap memperlakukan aku seperti seorang bocah. Perlu diselimuti agar tak kedinginan, dijaga agar tak ada satupun nyamuk yang menghisap darahku.