Kabar bungah itu diterima simbah, hanya beberapa jam menjelang pergantian tahun 2016 ke 2017. Seorang kawan lama akan datang dari kampung untuk liburan dan silaturohmi ke rumah.
Simbah yang sebelumnya murung karena tak pulang kampung di akhir tahun ini pun mendadak sumringah. Dia minta tolong si Mbak untuk belanja ke pasar, membeli daging, sayur dan buah-buahan. "Pokoke masak sing uenak (pokoknya masak yang enak)," kata Simbah.
Si Mbak tak bisa menolak, meski saat Simbah bertitah hari sudah beranjak siang. Tak banyak lagi pilihan daging, sayur dan buah di pasar. Beruntung ada alternatif pasar lain, sehingga tak susah memenuhi permintaan Simbah.
Tepat saat matahari muncul pertama kali di tahun 2017, Mbah Mangun sohib Simbah dari Kampung tiba. Simbah yang masih mengenakan sarung dan baju muslim usai salat Subuh nampak menyambut Mbah Mangun di teras.
"Weleh..weleh.. piye..piye, numpak opo iki mau (walah, walah, gimana-gimana, naik apa ini tadi)," tanya Simbah.
"Numpak sepur (naik kereta)," jawab Mbah Mangun.
Simbah kemudian mempersilakan Mbah Mangun membersihkan diri dan istirahat dulu.
Sekitar pukul 08.00 WIB pagi, seperti biasanya Simbah menunaikan Salat Dhuha. Si Mbak menyiapkan kopi dan aneka jajanan pasar sebagai pembuka sarapan di teras samping.
Tak berapa lama kemudian, Mbah Mangun keluar dari kamar sambil menenteng sebuah kantung plastik. Aku nggak tahu isinya apa?. Si Mbak mempersilakan Mbah Mangun menuju teras samping untuk menunggu Simbah.
Mbah Mangun mengambil satu bungkusan dari saku dan mengeluarkan tembakau, cengkeh dan kelobot jagung. Rupanya dia masih
setia dengan rokok Tingwe alias ngelinting dewe.
Lima kali isapan Tingwe Mbah Mangun, Simbah muncul dari balik Musala. "Wah, iki, rokok klangenanku. Isih ono ora. (Wah ini, rokok kesenanganku, Tingwe)," kata Simbah sambil berjalan menuju meja teras.
"Wah mesti,, mesti. Iki aku nggowo spesial kanggo awakmu. (Pasti, pasti ini aku bawa spesial untukmu)," jawab Mbah Mangun sambil menyerahkan satu kantung plastik hitam. Isinya, tembakau, cengkeh dan kelobot alias kulit jagung.
Dua pria yang sama-sama berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Solo tahun 1945-an itu pun kemudian asyik menghisap rokok Tingwe klanganenan mereka.
Separuh batang Tingwe terbakar, Simbah mendadak serius. "Lek Mangun, sing gedhe pangapuramu yo, wingi aku ora ngucapke 'Selamat Natal' kanggo awakmu. Sing gedhe pangapuramu yo (Om Mangun, mohon maaf sebesar-besarnya ya, kemarin aku tidak mengucapkan 'Selamat Natal' untukmu. Mohon maaf sebesar-besarnya ya)," kata Simbah sambil merangkul Mbah Mangun.
"Iki masalah anteping ati Ngun. Aku mung ngrungkebi ajaran agomo sing tak anut, aku kepingin dadi muslim sing taat. Tak jaluk awakmu iso percoyo, aku terus ndongake awakmu lan keluarga supoyo selamat donyo akhirat. (Ini masalah ketetapan hati Ngun. Aku sekadar menjalankan ajaran agamaku, aku kepingin dadi muslim sing taat. Ku minta kamu percaya bahwa aku selalu mendoakan agar kamu dan keluargamu selamat dunia dan akhirat," tambah Simbah.
"Kang, aku ora opo-opo. Aku iso maklumi kang. Agamo sing tak anut yo ora bangga, ora mekso agamo liyo ngucapke 'Selamat Natal' (Mas aku ndak apa-apa. Aku bisa memahami. Agama yang aku anut juga tak bangga dan tak memaksa pemeluk agama lain mengucapkan 'Selamat Natal'," jawab Mbah Mangun sambil menepuk bahu Simbah.
Simbah dan Mbah Mangun memang sohib sejak mereka masih jejaka. Dua pria beda agama itu sama-sama mengangkat senjata untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hubungan keduanya lebih dari sekadar saudara kandung.
Perbadaan agama tak membuat mereka canggung. Bahkan setelah mereka sama-sama punya keluarga. Anak-anak mereka pun saling menjalin silaturohmi. Ketika masih di kampug, saat lebaran Mbah Mangun dan keluarganya datang ke rumah Simbah. Tak ada ucapan selamat lebaran. Yang ada hanya silaturohmi dan makan-makan bersama.
Begitu juga ketika natal, Simbah mengajak kami berkunjung ke rumah Mbah Mangun. Sama, tak ada ucapan 'Selamat Natal', yang ada adalah silaturohmi dan makan-makan bersama.
Melalui hubungan keluarga, Simbah dan Mbah Mangun membangun sebuah toleransi kecil. Saling menghargai, menghormati dan berdampingan secara rukun. Simbah meminta maaf tak bisa mengucap 'Selamat Natal' untuk Mbah Mangun.
Mbah Mangun pun menghargai Simbah yang tak mengucap 'Selamat Natal'.
Mendadak aku mbrebes mili, melihat hubungan dua pria baya yang usianya lebih dari 90 tahun itu. Semoga kalian diberi umur yang panjang dan senantiasa sehat Mbah. Doakan kami bisa melanjutkan semangat kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar