Ki Sanak, maaf lama kami tidak mosting artikel di blog ini. Semoga Ki Sanak semua dalam keadaan sehat wal afiat. Banyak peristiwa di negeri ini yang layak kita soroti. dan salah satu yang ingin saya ulas adalah soal wajah dunia pendidikan Indonesia. Ulasan saya selengkapnya dapat dibaca di di sini
Atau kalau kesulitan membuka linknya, ini ada tulisan mentahnya.
Barangkali kata itu yang patut penulis ucapkan dengan munculnya cerita Bang Maman dari Kali Pasir di buku Lembar Kegiatan Siswa kelas 2 Sekolah Dasar. Pada LKS Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta atau PLBJ itu dikisahkan akal jahat Bang Maman, yang seorang pedagang buah untuk memisahkan rumah tangga anaknya. Hanya gara-gara si menantu jatuh miskin karena tak bisa mengelola harta warisan orang tua. Sayangnya, anak Bang Maman tak mau. Dia pun menyusun rencana dengan menebar fitnah, bahwa sang menantu memiliki isteri simpanan. Kata isteri simpanan inilah yang kurang pas untuk disampaikan kepada anak-anak SD kelas 2.
Menurut buku tersebut, pesan yang ingin disampaikan melalui cerita itu adalah manusia tidak boleh serakah, bersyukurlah atas semua nikmat yang diberikan Allah. Namun sayang, pengarang gagal menyuguhkan cerita yang mendidik untuk anak SD. Cerita yang disuguhkanpun juga jauh dari kualitas yang diharapkan. Lolosnya cerita Bang Maman dari Kali Pasir untuk buku SD patut disesalkan. Harapan orang tua agar anaknya mendapat pendidikan bermutu makin jauh.
Selama ini di luar sekolah, anak-anak sudah disuguhi aneka tontonan kurang mendidik lewat tayangan televisi. Hanya sedikit televisi yang menayangkan acara khusus untuk anak. Lebih banyak acara sinetron yang menampilkan kisah-kisah tidak mendidik dan sulit dicerna akal. Dan barangkali kisah Bang Maman dari Kali Pasir terinspirasi dari cerita sinetron di televisi.
Kita tentu sepakat bahwa tujuan pendidikan bukan hanya untuk meningkatkan kecerdasan intelektual saja, melainkan juga kecerdasan emosional dan spritual siswa. Seorang pendidik dituntut tak hanya mengajar mata pelajaran yang akan diujikan pada Ujian Akhir Nasional saja. Namun juga bertanggungjawab mengajarkan nilai-nilai moral, etika dan akhlak kepada anak didiknya. Selain kecakapan dan kemampuan kognitif, sekolah perlu memberikan pendidikan karakter pada anak.
Empat ciri dasar yang disebut FW Foster tersebut ada dalam tujuan diadakannya mata pelajaran PLBJ di sekolah. Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta merupakan mata pelajaran muatan lokal yang wajib untuk sekolah dasar di Ibu Kota ini. Hal-hal yang dipelajari dalam PLBJ antara lain permainan tradisional, cerita rakyat, kesenian Jakarta dan masalah lingkungan seperti tata kota, air, polusi, sampah, dan kehidupan sosial. Tujuannya agar para siswa-siswi mengenal lebih tentang budaya Jakarta. Apabila sudah mengenal, maka tidak tertutup kemungkinan akan mencintai budaya lokal sehingga dapat terus dilestarikan.
Apabila merujuk pada tujuan diadakannya mata pelajaran PLBJ, semestinya tak sulit menyuguhkan cerita adat Betawi yang sarat dengan nilai luhur dan pesan moral untuk murid. Sebut saja cerita si Pitung, dan banyak lagi kisah-kisah perjuangan putera-putera Batavia yang bisa dijadikan suri tauladan. Tinggal meramunya menjadi sebuah cerita yang menarik dan layak dibaca oleh anak sekolah. Kalaupun berniat membuat cerita sendiri, sudah semestinya dibuat dengan mempertimbangkan kesiapan psikologis anak didik. Belajar dari kisah Bang Maman dari Kali Pasir, tentunya istilah 'isteri simpanan' tak perlu muncul di buku LKS untuk siswa kelas 2 Sekolah Dasar.
Ada hal yang perlu dibenahi dalam hal penyediaan buku, khususnya yang nonpelajaran di sekolah. Pemerintah sebenarnya telah mengatur mekanisme penyediaan buku nonpelajaran yang meliputi buku pengayaan, referensi, termasuk lembar kegiatan siswa. Mekanisme yang dilakukan pemerintah sudah cukup bagus, yaitu melalui proses seleksi oleh Pusat perbukuan dan Panitia Penilaian Buku Nont Teks Pelajaran (PPBNP). Sayangnya aturan tersebut tidak memiliki payung hukum sehingga lemah dalam implementasinya. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008, tidak secara tegas menyebut bahwa buku nonpelajaran harus melalui proses penilaian.
Apalagi, sekolah mempunyai kewenangan menentukan sendiri buku pengayaan untuk anak didiknya. Akibatnya penyimpangan dalam proses penyediaan buku nonpelajaran sering terjadi pada tataran sekolah. Selain lemahnya aturan, penyimpangan bisa terjadi karena adanya mafia proyek dalam penyediaan buku. Faktor kedua inilah yang sangat berbahaya bagi dunia pendidikan kita. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan harus sigap. Peraturan penyediaan buku pelajaran baik wajib, maupun sebagai bahan pengayaan harus diperbaiki. Setiap buku yang akan disuguhkan ke anak didik harus melalui seleksi ketat dan bertahap, mulai dari sekolah, sampai pusat perbukuan. Bahkan jika perlu orang tua dan komite sekolah dilibatkan dalam pemilihan buku. Harapannya tak ada lagi kisah Bang Maman dari Kali Pasir lolos menjadi bacaan anak kelas 2 Sekolah Dasar.
*) Tulisan adalah pendapat pribadi
Salam, dan selamat sore
--Erwindar--
mantab gan, lanjut, jangan lupa kunjungi kami di www.jedadulu.com, yah
BalasHapusterima kasih mas, Alhamdulilah telah mampir ke jedadulu.com wah blognya bagus mas. jadi minder aku
BalasHapus