Klik di sini untuk baca selengkapnya
Kreatifitas politikus di negeri ini sepertinya sudah pupus. Akrobat politik bisa dengan mudah dibaca. Tengok saja dalam hal penentuan jadi tidaknya harga bahan bakar minyak subsidi dinaikkan. Pemerintah sebenarnya telah membahas rencana kenaikkan sejak Januari tahun ini, saat harga minyak mentah dunia mulai tembus US$ 100 per barel. Namun kemudian ke Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah justru lebih memilih mengusulkan program konversi energi dari bahan bakar minyak ke gas lebih dulu.
Jajaran kabinetpun gencar mengkampanyekan penggunaan kendaraan berbahan gas. Pemerintah juga berencana memproduksi conventer kit atau alat pengubah energi minyak ke gas. Seperti sudah terbaca, rencana ini akhirnya ditolak oleh mayoritas anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat. Bagai mendapat angin, pemerintah kemudian mengajukan usul kenaikkan harga BBM bersubsidi. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012 diajukan lebih cepat dari biasanya. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, BBM selalu dijadikan isu politik baik partai oposisi maupun pemerintah. Pro dan kontra muncul atas rencana pemerintah menaikkan harga BBM subsidi.
Politikus, aktivis, sampai akademisi sibuk adu argumentasi dan data soal perlu tidaknya subsidi bahan bakar minyak dicabut. Namun sayangnya, tak satupun dari mereka memberi solusi alternatif tentang permasalahan kebutuhan energi nasional.
Krisis Energi
Data Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) menyebut, cadangan minyak dalam negeri pada tahun 2012 sekitar 3,92 miliar barel. Angka ini menurun dari tahun sebelumnya yang masih sebesar 4,03 miliar barel. Cadangan minyak dipastikan bakal terus berkurang akibat tidak seimbangnya produksi dengan eskplorasi sumur baru. Tahun 2011 misalnya, produksi minyak mencapai 300 juta barel. Sementara penambahan cadangan dari 41 rencana pengembangan lapangan hanya 240 juta barel.
Tingkat konsumsi BBM dipastikan akan semakin bertambah seiring meningkatnya pertumbuhan populasi dan ekonomi. Tahun 2003 lalu, untuk pertamakalinya Indonesia mengalami defisit minyak. Angka konsumsi melampau tingkat produksi. Tahun 2004, kekurangan ini tidak dapat ditutupi lagi dari cadangan nasional. Sehingga untuk pertama kalinya Indonesia mengimpor minyak untuk menutupi kekurangan sebesar 176 kilo barel per hari (kbpd). Dan sejak itu catatan energi minyak Indonesia terus memburuk. Tahun 2010, tercatat produksi minyak Indonesia hanya 986 kbpd. Padahal tingkat konsumsi melonjak hingga menembus angka 1,304 kbpd atau defisit 318 kbpd. Tahun 2011 lalu, tercatat impor minyak mentah Indonesia mencapai 400 ribu barel per hari.
Tingkat pengurasan energi Indonesia terbilang tinggi, yakni delapan kali lebih besar dari negara penghasil minyak dunia, seperti Arab Saudi dan Libya. Indonesia dengan cadangan 3,92 miliar barel, produksi minyaknya mencapai 1 juta barel per hari, dan reserves-to-production ratio (RPR) sebesar 4. Bandingkan dengan Arab Saudi yang cadangannya sebesar 265 miliar barel, hanya memproduksi minyak sebesar 8 juta barel per hari (bph) dan RPR 35. Libya dengan cadangan 46 miliar barel produksi minyaknya mencapai 1,5 juta bph, atau tingkat RPR sebesar 30.
Krisis energi tinggal menunggu waktu. Menggantungkan sepenuhnya pemenuhan kebutuhan energi pada minyak bumi tentu bukan pilihan bijak. Kini Indonesia sudah menjadi pengimpor emas hitam. Cadangan energi gas hanya akan berumur 55 tahun, sementara batu bara mungkin agak lama yakni 139 tahun lagi dari sekarang. Sudah saatnya Negara serius menggarap energi alternatif. Banyak potensi bisa dimanfaatkan. Selain batu bara, dan gas ada energi air, matahari, dan angin. Mahalnya investasi awal semestinya tak jadi alasan untuk enggan menggarap energi alternatif. Jer basuki mowo beyo. Semua hasil membutuhkan modal atau biaya.
Pengembangan energi alternatif
Kenaikan harga BBM tinggal menunggu ketok palu Dewan. Bahkan postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 telah disetujui oleh Badan Anggaran DPR. Alokasi besaran subsidi energi mencapai Rp 256 triliun. Perinciannya subsidi bahan bakar sebesar Rp 137,4 triliun, listrik Rp 65,0 triliun, kompensasi kenaikan bahan bakar minyak Rp 30,6 dan cadangan risiko energi Rp 23,0 triliun.
Sayangnya tak ada anggaran untuk pengembangan energi alternatif. Cadangan risiko energi sudah direncanakan menambal subsidi listrik yang dianggap masih kurang hanya dengan Rp 65 triliun. Padahal dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025, sesuai Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, jelas ada program pengembangan energi alternatif. Termasuk percepatan pembangunan insfrastruktur energi.
Cetak biru pengelolaan energi Nasional menargetkan pada tahun 2025 pemakaian energi minyak bumi tinggal 20 persen saja, 33 persen menggunakan batu bara, 30 persen menggunakan gas alam, 5 persen menggunakan biodiesel dan bioetanol, 5 persen panas bumi, 5 persen air, dan sisanya sumber energi lainnya. Sayangnya melihat realita saat ini target itu masih jauh panggang dari api.
Tak ada pilihan lain, pemerintah harus menggenjot pembangunan insfrastruktur energi. Minimnya anggaran tak bisa dijadikan alasan. Justru semestinya menumbuhkan kreativitas. Program penghematan anggaran di kantor kementerian dan lembaga negara harus dijalankan dengan serius. Bila perlu presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa memberi contoh dengan menunda pembelian pesawat kepresidenan. Hasil penghematan bisa dialokasikan untuk membangun insfrastruktur energi dan mengembangkan energi alternatif. Kalau tak cukup, gandeng investor. Bila perlu beri insentif bagi pengusaha yang ingin membangun energi alternatif penggannti minyak bumi.
Terakhir, dalam pelaksanannya tak bisa hanya diserahkan kepada kepala divisi atau direktur jenderal. Presiden dan Menteri wajib turun ke lapangan mengecek langsung jalannya proyek. Dengan tersedianya berbagai energi alternatif, rakyat tak perlu lagi menanggung beban akibat naiknya BBM. Dan politikus akan lebih kreatif lagi memainkan perannya sebagai wakil rakyat.
*****
tulisan adalah pendapat pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar