Editorial kami soal pemilihan kepala daerah Jakarta
Jakarta. Sejak kemerdekaaan Republik Indonesia 1945 sampai sekarang telah 15 kali berganti kepala daerah. Setiap bersalin Gubernur, ganti juga kebijakannya. Namun permasalahan tetap sama. Banjir, kepadatan penduduk, sosial, dan terakhir kemacetan. Dan belum satupun dalam sejarah pemimpin Daerah Khusus Ibukota ini yang tuntas menyelesaikan segala keruwetan Jakarta.
Baik. Membahas masa lalu hanya akan menghabiskan energi. Menatap masa depan tentu lebih produktif. Hanya dalam hitungan hari, Jakarta akan menghelat pesta lima tahunan; Pemilihan Kepala Daerah. Sebanyak 7.545.989 warga akan memilih orang yang akan memimpin kota ini untuk lima tahun ke depan. Nama-nama calon meski belum tetap, telah mulai ramai disebut. Malah sudah ada yang berani mengumbar janji-janji.
Tahun ini apabila tak ada halangan, untuk pertamakalinya Pemilihan Kepala Daerah Jakarta diikuti oleh calon non partai atau dari jalur independen. Ada juga calon dari luar kota. Kota yang pada zaman penjajahan bernama Batavia ini, selain menjadi daya tarik kaum urban, rupanya juga memikat hati politikus daerah. Sebagai ibukota, Jakarta memang memiliki segudang daya tarik terutama untuk berbisnis. Fakta inilah yang kemudian berpeluang disalahgunakan oleh calon kepala daerah maupun pengusungnya.
Transaksi-transaksi politik kotor bisa saja terjadi antara partai politik pengusaha dan calon. Apabila ini terjadi sungguh akan sangat berbahaya. Gubernur yang terpilih melalui transaksi politik kotor akan sibuk membalas jasa para pendukungnya, ketimbang membangun Jakarta. Pengejawantahan segala kebijakannya bakal tersandera oleh politik balas budi. Akibatnya masalah bukan terselesaikan, melainkan justru tambah menggunung.
Adanya calon independen, tentu akan memberi warna tersendiri bagi Pemilu Kada di Jakarta tahun ini. Meski bukan jaminan nihil dari transaksi politik kotor, setidaknya masyarakat memiliki banyak alternatif untuk dipilih. Sang calonpun tak akan serampangan mengumbar janji. Mereka akan bersaing meraih simpati dengan cara elegan. Rakyat sudah cerdas. Tak lagi mempan 'disuapin' sekilo beras.
Wajah Jakarta lima tahun ke depan akan ditentukan pada 11 Juli nanti. Siapapun yang terpilih masih akan mewarisi segudang masalah Jakarta. Dan itu tentu tidak berat jika Gubernur terpilih bisa melaksanakan semua kebijakan dan program-programnya dengan 'ikhlas'. Yakni hanya semata-mata membangun Jakarta. Bukan untuk balas budi dari adanya transaksi politik kotor, atau mengeruk kepentingan pribadi. Selamat berpesta Jakarta.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar