Izinkan saya sedikit berpendapat, atas sengkarut korupsi di negeri ini. artikel itu bisa diklik di link ini http://edisi.hariandetik.com/?xml=Pagi&startpage=18&iid=60875
Selamat menikmati
salam
Erwindar
Bagi yang kesulitan membuka linknya. Ini naskah asli saya..
Persisnya sepuluh tahun lalu. Bersama seorang kawan satu organisasi kemahasiswaan saya mendiskusikan rencana pengadaan kaus untuk sebuah kegiatan. Jumlahnya hanya 300-an. Namun kami sengaja membuka tender. Lelang diumumkan melalui pamflet dan media kampus. Tak sampai sepekan puluhan penawaran masuk, dari pengusaha sablon kelas besar sampai kalangan pinggir jalan.
Perdebatan terjadi saat masuk dalam tahap penentuan pemenang. Salah satu dari dua peserta final lelang, ada hubungan perkawanan dengan teman saya tersebut. Dalam hal harga keduanya berani memberi murah. Namun dari sisi kualitas, sablonan relasi teman saya itu agak kalah. Hanya karena kedekatan hubungan akhirnya dia yang dimenangkan. Set elah proyek pengadaan kaos selesai, kami mendapat ‘tips’. Ada perdebatan waktu itu, meski tak seramai yang terjadi di Senayan. Meloloskan peserta tender karena kedekatan, dan mendapat imbalan apakah sebuah tindakan korupsi?. Tak ada titik temu, sampai kami lulus.
****
Korupsi menurut pasal 2 -Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Kesimpulannya, persekutuan saya dan teman seorganisasi waktu di kampus bukan perbuatan korupsi. Negara tidak rugi atas perbuatan kami tersebut. Namun ada kemiripan modus dengan kasus-kasus rasuah di negeri ini; mencari keuntungan pribadi dari sebuah proyek. Dengan kata lain penulis ingin mengatakan bahwa bibit-bibit korupsi itu bisa saja muncul sejak di bangku pendidikan. Tentu dengan skala yang lebih kecil, tak sampai angka miliaran bahkan jutaan.
Dari kebiasaan yang bisa dibilang sepele itulah benih korupsi muncul dan bersemi. Akan semakin subur kala seseorang, katakanlah teman saya tadi mendapat kesempatan; karena menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, atau pegawai di sebuah instansi negara. Hampir semua instansi di negeri ini memiliki proyek tahunan. Dari pengadaan nasi kotak yang hanya bernilai jutaan sampai proyek pembangunan gedung bernilai triliunan rupiah. Pada posisi inilah bibit korupsi yang mulai tumbuh sejak dunia pendidikan berpeluang berkembang. Modusnya pun tak lagi persahabatan, melainkan siapa berani memberi tips besar mereka yang dimenangkan.
Anatomi Korupsi
Ibarat bagian tubuh, di negeri ini hampir semua bagian terserang penyakit korupsi. Mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Hingga kini belum terungkap kapan pertama kali terjadi korupsi di Indonesia. Penyebabnyapun masih menjadi perdebatan. Soal moral dan kecilnya gaji seorang pegawai negeri sipil rupanya bukan satu-satunya alasan pemicu budaya korup. Tengok saja beberapa kasus mafia pajak yang sempat terungkap. Remunerasi diberikan pada pegawai di Jawatan Pajak sebagai instansi yang banyak mengelola duwit negara. Harapannya tak ada aparat yang tergoda melakukan tindak pidana. Toh rupanya cara ini tidak sepenuhnya mujarab memberantas praktik mafia pajak. Di instansi lain korupsi juga ternyata dilakukan oleh pejabat yang gajinya sudah tak lagi kecil.
Korupsi terjadi karena ada kesempatan, bukan semata akibat keterpaksaan. Profesor Robert Klitgaard, peneliti kebijakan publik dari Harvard University pernah menulis “Illicit behaviour flourishes when agents have monopoly power over clients, when agents have great discretion, and when accountability of agents to the principal is weak. A stylizzed equation holds, Corruption = Monopoly + Discretion – Accountability” Budaya korupsi berkembang ketika seseorang pejabat memiliki kekuatan monopoli atas klien, memiliki diskresi atau kekuasaan tidak terbatas, dan lemahnya kontrol akuntabiltas pimpinan kepada bawahan.
Tiga faktor itu, ditambah bobroknya moral seorang pejabat yang selama ini menyebabkan budaya korupsi tumbuh subur di Indonesia. Kekuasaan tidak terbatas sering disalahgunakan. Bahkan terkadang untuk melindungi kejahatannya seorang pejabat negara membuat sendiri peraturan dan undang-undang. Itu yang terjadi pada zaman Orde Baru. Atas nama kekuasaan uang rakyat dijarah dan disetor ke yayasan pribadi dengan alasan untuk tujuan pembangunan. Era sekarang tentu berbeda, tapi intinya tetap sama. Kekuasaan tidak terbatas berpotensi menimbulkan budaya korup.
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi.
Mata rantai korupsi di negeri ini sudah seperti sistem jaringan sel terputus. Sulit diberantas.Sedari awal berdiri para pemimpin sudah menyadari kemungkinan adanya penyalagunaan wewenang oleh seorang pejabat. Sehingga kemudian di setiap departemen, lembaga dan kantor negara ada bagian inspektorat yang bertugas mengawasi pegawainya. Dari bagian luar ada Badan Pemeriksa Keuangan, ada juga Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Ada tiga institusi penegak hukum; Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi. Sederat kasus korupsi kakap berhasil dibongkar. Toh hingga kini budaya korupsi belum bisa dibasmi. Penjarah uang negara tidak jera. Malah kemudian muncul generasi baru koruptor. Banyak pegawai pemerintahan yang masih muda, dengan usia kurang dari 40 tahun tersangkut kasus dugaan tindak pidana korupsi.
Negeri ini perlu belajar dari Kolombia. Negara itu sempat memiliki citra buruk karena maraknya kasus perdagangan narkoba dan korupsi. Andres Pastrana, putra mantan Presiden Kolombia Misael Pastrana, yang baru berusia 44 tahun saat menjabat kepala negara melakukan terobosan dalam memberantas korupsi. Di awal kepemimpinanya dia menempatkan pemberantasan korupsi sebagai proram utama. Strategi yang dia lakukan adalah dengan mendiagnosis problem korupsi, mendesain, merencanakan, membuat pilot project, dan mengejawantahkannya dalam bentuk peraturan.
Dalam memerangi korupsi Pastrana menerapkan prinsip menindak tegas tanpa pilih kasih, partisipasi menyeluruh, koordinasi yang baik, mengubah sistem pemerintah, dan penggunaan teknologi tinggi. Formula ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hanya sayang pada tingkat pelaku kebijakan program dan rumus pemberantasan korupsi tidak dilaksanakan dengan sepenuh hati.
Pemberantasan korupsi tidak bisa berjalan sendiri. Pada waktu bersamaan harus dilakukan pencegahan dengan melibatkan semua unsur pemerintahan, organisasi masyarakat dan juga organisasi kemahasiswaan. Bibit korupsi bisa muncul kapan saja, dan di mana saja. Tanpa pencegahan, pemberantasan akan berjalan sia-sia, dan pandemik korupsi di negeri ini akan tetap tumbuh subur.
Erwin Dariyanto
Twitter @erwindar
tulisan adalah pendapat pribadi.
salam
Selamat menikmati
salam
Erwindar
Bagi yang kesulitan membuka linknya. Ini naskah asli saya..
Negeri Pandemik Korupsi
Persisnya sepuluh tahun lalu. Bersama seorang kawan satu organisasi kemahasiswaan saya mendiskusikan rencana pengadaan kaus untuk sebuah kegiatan. Jumlahnya hanya 300-an. Namun kami sengaja membuka tender. Lelang diumumkan melalui pamflet dan media kampus. Tak sampai sepekan puluhan penawaran masuk, dari pengusaha sablon kelas besar sampai kalangan pinggir jalan.
Perdebatan terjadi saat masuk dalam tahap penentuan pemenang. Salah satu dari dua peserta final lelang, ada hubungan perkawanan dengan teman saya tersebut. Dalam hal harga keduanya berani memberi murah. Namun dari sisi kualitas, sablonan relasi teman saya itu agak kalah. Hanya karena kedekatan hubungan akhirnya dia yang dimenangkan. Set elah proyek pengadaan kaos selesai, kami mendapat ‘tips’. Ada perdebatan waktu itu, meski tak seramai yang terjadi di Senayan. Meloloskan peserta tender karena kedekatan, dan mendapat imbalan apakah sebuah tindakan korupsi?. Tak ada titik temu, sampai kami lulus.
****
Korupsi menurut pasal 2 -Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Kesimpulannya, persekutuan saya dan teman seorganisasi waktu di kampus bukan perbuatan korupsi. Negara tidak rugi atas perbuatan kami tersebut. Namun ada kemiripan modus dengan kasus-kasus rasuah di negeri ini; mencari keuntungan pribadi dari sebuah proyek. Dengan kata lain penulis ingin mengatakan bahwa bibit-bibit korupsi itu bisa saja muncul sejak di bangku pendidikan. Tentu dengan skala yang lebih kecil, tak sampai angka miliaran bahkan jutaan.
Dari kebiasaan yang bisa dibilang sepele itulah benih korupsi muncul dan bersemi. Akan semakin subur kala seseorang, katakanlah teman saya tadi mendapat kesempatan; karena menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, atau pegawai di sebuah instansi negara. Hampir semua instansi di negeri ini memiliki proyek tahunan. Dari pengadaan nasi kotak yang hanya bernilai jutaan sampai proyek pembangunan gedung bernilai triliunan rupiah. Pada posisi inilah bibit korupsi yang mulai tumbuh sejak dunia pendidikan berpeluang berkembang. Modusnya pun tak lagi persahabatan, melainkan siapa berani memberi tips besar mereka yang dimenangkan.
Anatomi Korupsi
Ibarat bagian tubuh, di negeri ini hampir semua bagian terserang penyakit korupsi. Mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Hingga kini belum terungkap kapan pertama kali terjadi korupsi di Indonesia. Penyebabnyapun masih menjadi perdebatan. Soal moral dan kecilnya gaji seorang pegawai negeri sipil rupanya bukan satu-satunya alasan pemicu budaya korup. Tengok saja beberapa kasus mafia pajak yang sempat terungkap. Remunerasi diberikan pada pegawai di Jawatan Pajak sebagai instansi yang banyak mengelola duwit negara. Harapannya tak ada aparat yang tergoda melakukan tindak pidana. Toh rupanya cara ini tidak sepenuhnya mujarab memberantas praktik mafia pajak. Di instansi lain korupsi juga ternyata dilakukan oleh pejabat yang gajinya sudah tak lagi kecil.
Korupsi terjadi karena ada kesempatan, bukan semata akibat keterpaksaan. Profesor Robert Klitgaard, peneliti kebijakan publik dari Harvard University pernah menulis “Illicit behaviour flourishes when agents have monopoly power over clients, when agents have great discretion, and when accountability of agents to the principal is weak. A stylizzed equation holds, Corruption = Monopoly + Discretion – Accountability” Budaya korupsi berkembang ketika seseorang pejabat memiliki kekuatan monopoli atas klien, memiliki diskresi atau kekuasaan tidak terbatas, dan lemahnya kontrol akuntabiltas pimpinan kepada bawahan.
Tiga faktor itu, ditambah bobroknya moral seorang pejabat yang selama ini menyebabkan budaya korupsi tumbuh subur di Indonesia. Kekuasaan tidak terbatas sering disalahgunakan. Bahkan terkadang untuk melindungi kejahatannya seorang pejabat negara membuat sendiri peraturan dan undang-undang. Itu yang terjadi pada zaman Orde Baru. Atas nama kekuasaan uang rakyat dijarah dan disetor ke yayasan pribadi dengan alasan untuk tujuan pembangunan. Era sekarang tentu berbeda, tapi intinya tetap sama. Kekuasaan tidak terbatas berpotensi menimbulkan budaya korup.
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi.
Mata rantai korupsi di negeri ini sudah seperti sistem jaringan sel terputus. Sulit diberantas.Sedari awal berdiri para pemimpin sudah menyadari kemungkinan adanya penyalagunaan wewenang oleh seorang pejabat. Sehingga kemudian di setiap departemen, lembaga dan kantor negara ada bagian inspektorat yang bertugas mengawasi pegawainya. Dari bagian luar ada Badan Pemeriksa Keuangan, ada juga Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Ada tiga institusi penegak hukum; Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi. Sederat kasus korupsi kakap berhasil dibongkar. Toh hingga kini budaya korupsi belum bisa dibasmi. Penjarah uang negara tidak jera. Malah kemudian muncul generasi baru koruptor. Banyak pegawai pemerintahan yang masih muda, dengan usia kurang dari 40 tahun tersangkut kasus dugaan tindak pidana korupsi.
Negeri ini perlu belajar dari Kolombia. Negara itu sempat memiliki citra buruk karena maraknya kasus perdagangan narkoba dan korupsi. Andres Pastrana, putra mantan Presiden Kolombia Misael Pastrana, yang baru berusia 44 tahun saat menjabat kepala negara melakukan terobosan dalam memberantas korupsi. Di awal kepemimpinanya dia menempatkan pemberantasan korupsi sebagai proram utama. Strategi yang dia lakukan adalah dengan mendiagnosis problem korupsi, mendesain, merencanakan, membuat pilot project, dan mengejawantahkannya dalam bentuk peraturan.
Dalam memerangi korupsi Pastrana menerapkan prinsip menindak tegas tanpa pilih kasih, partisipasi menyeluruh, koordinasi yang baik, mengubah sistem pemerintah, dan penggunaan teknologi tinggi. Formula ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hanya sayang pada tingkat pelaku kebijakan program dan rumus pemberantasan korupsi tidak dilaksanakan dengan sepenuh hati.
Pemberantasan korupsi tidak bisa berjalan sendiri. Pada waktu bersamaan harus dilakukan pencegahan dengan melibatkan semua unsur pemerintahan, organisasi masyarakat dan juga organisasi kemahasiswaan. Bibit korupsi bisa muncul kapan saja, dan di mana saja. Tanpa pencegahan, pemberantasan akan berjalan sia-sia, dan pandemik korupsi di negeri ini akan tetap tumbuh subur.
Erwin Dariyanto
Twitter @erwindar
tulisan adalah pendapat pribadi.
salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar