foto: suara tamiang dot com |
Aku tersedak. Kopi hitam yang kusesap gagal masuk tenggorokan. Butirannya menghambur membasahi sebagian meja. Rupanya aku lupa memasukkan gula ke dalam cangkir. Wakijan hanya tertawa. Lawan ngupiku sore itu tak merasa bersalah. Padahal selain gula, pertanyaan dia waktu bibirku dan cangkir saling berpagutan turut menyumbang kecelakaan ini. “Kenapa hampir setiap pesta demokrasi selalu ada politik uang?,”. Begitu pertanyaan pria 37 tahun di depanku.
Dia serius bertanya. Dan aku heran, kenapa pertanyaan itu dilontarkan kepadaku?. Aku bukan sarjana politik. Tak sekalipun kusesap ilmu politik. Tapi aku harus meladeni pertanyaan Wakijan. Kalau tidak, kopi ini tak bakal dia bayar. “Politik uang muncul karena ketidakmampuan politikus menjalin komunikasi politik,”. Itu jawaban spontanku.
Saya tidak tau, kapan pertama kali politik uang muncul. Namun fenomena ini makin populer dan marak justru pasca reformasi. -sori bukan berarti zaman Orde Baru tidak ada lho?-. Bisa dikatakan uang selalu mewarnai setiap yang namanya pesta demokrasi. Entah itu pemilihan legislatif, pemilihan presiden dan wakilnya, serta pemilihan kepala daerah.
Para kandidat dan calon pendukungnya lihai memainkan peran. Praktik politik uang makin lihai. Dibungkus dengan aneka cara sehingga sulit dijerat hukum. Misalnya, dengan label bantuan atau upah karena jadi relawan. Untuk calon inkumbent lebih cerdik lagi. Politik uang dibungkus dengan bingkai bantuan sosial. Tak heran jika menjelang pemilukada, pengeluran kas pemerintah daerah membengkak berlipat-lipat. Dan semua praktik itu sampai kini relatif aman. Aparat hukum dan aktivis anti korupsi belum bisa menjerat mereka.
Kembali ke penyebab politik uang. Kepada Wakijan saya nrocos. Politik uang terjadi karena politikus gagal melakukan komunikasi politik dengan warga. Terang saja, karena umumnya mereka menjalin komunikasi itu secara instan. Hanya beberapa saat menjelang pesta demokrasi dihelat. Mestinya mereka menjalin itu jauh-jauh hari. Mengadakan program yang nyata dia masyarakat. Tidak sekedar janji.
“Lalu, bagaimana sikap media terhadap Pemilukada DKI?,” Wakijan memotong ceramah saya.
Media pada dasarnya akan mewartakan peristiwa yang menarik dan layak dimuat. Misalnya begini, ada peristiwa kampanye Partai Demokrat sepi pengunjung. Ini akan menjadi berita yang layak dimuat dan menarik ketimbang peristiwa, Anas Urbaningrum Panen Cabe'. Atau munculnya pasangan Jokowi-Ahok pertama kali di KPUD Jakarta hanya dengan mengenakan kemeja lengan panjang kotak-kotak. Ini memiliki nilai berita yang lebih dibanding misalnya pasangan lain yang mengenakan baju adat Betawi.
Kalau tidak bisa disebut sebagai komunikasi politik, tampilnya Jokowi-Ahok dengan kemeja lengan panjang kotak-kotak berhasil memikat publik. Setidaknya warga Jakarta yang awalnya tak kenal menjadi tau. “Ooo... ini tho Jokowi”.
Aku kembali tersedak. Kali ini karena kopi di cangkir yang mencumbu bibirku tinggal ampasnya. Tak ada lagi butiran yang bisa kusesap.
Selamat Selasa ki Sanak. Selamat mencoblos besok..
salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar