Materi Khotbah Jumat tadi
tentang 'Arti Sukses' rupanya memantik Simbah untuk membahasnya
sesampai di rumah. Sambil bersantap siang di teras, Simbah dan
Pakdhe berdiskusi soal 'Arti Sukses'.
Setiap orang menurut
Simbah memiliki tolak ukur yang berbeda-beda dalam mengartikan kata
sukses. Seorang pedagang jamu yang berhasil menyekolahkan anaknya
hingga meraih gelar sarjana misalnya bisa disebut sukses.
“Pedagang jamu itu
sukses mengantar anaknya hingga ke jenjang pendidikan tinggi,” kata
Simbah.
Ada juga seorang pedagang
makanan yang merasa sukses setelah berhasil mencapai omset Rp 1 juta
per hari, dan memiliki beberapa cabang. Atau seorang pengojek yang
bisa mendapatkan penghasilan Rp 100 ribu per hari juga sudah merasa
sukses.
“Jadi ukuran sukses bagi
setiap orang itu berbeda-beda,” kata Simbah.
Pakdhe sepakat dengan
Simbah. Beliau kemudian mengisahkan sebuah kejadian yang pernah
diceritakan oleh salah seorang temannya.
Ada sebuah keluarga
terpandang yang menurut tetangga mereka dianggap sukses dalam
mendidik anak-anaknya. Satu anaknya menjadi menjadi dokter spesialis
tenar. Setiap hari antrean pasiennya mengular. Dia juga sering
diminta berceramah tentang kesehatan di berbagai forum baik lokal
maupun internasional.
Para tetangga pun memuji keluarga ini sebagai keluarga yang sukses. Sebagian warga bahkan iri.
Namun ibarat pepatah jawa, 'Urip mung sawang sinawang' (Hidup cuma saling melihat). Orang yang kita anggap suskes, belum tentu merasakan yang sama.
Saat sang ayah meninggal, dua anak tercintanya yang sukses dididik hingga jadi pengusaha sedang berada di luar negeri. Anak yang pertama tak mengangkat telepon dari kampung yang hendak memberitahukan perihal kematian ayahnya.
Anak kedua mengatakan, “Tolong selenggarakan saja pemakaman ayah. Saya tidak mungkin pulang karena ada pertemuan bisnis penting dengan mitra di sini.”
Tetangga-tetangga mereka terkesima mendengar jawaban itu. Mereka merasa anak-anak itu seolah tidak memiliki empati dan keinginan untuk memberikan bakti terakhir kepada ayahnya yang sudah renta.
Padahal sang ayah menjadi tua dan lapuk tulangnya karena mereka. Ayah itu menjadi renta setelah berjuang untuk mereka.
Jenazah sang ayah kini hanya ditungguin satu orang anaknya yang berprofesi sebagai dokter. Ketika jasad bapak itu terbujur di ruang tamu di rumah duka, ia memang masih menunggu. Tapi setelah jenazah selesai dimandikan, menunggu waktu untuk disalatkan, dokter itu mengeluarkan uang Rp 50 juta.
Dia meminta kepada tetangga untuk menyelenggarakan pemakaman sang ayah karena harus terbang ke Bali untuk menjadi pembicara satu-satunya di sebuah seminar. Si dokter mengaku tak bisa menunggu lama-lama sampai ayahnya selesai dimakamkan.
“Ia lalu berangkat ke bandara,” cerita Pakdhe kepada Simbah.
Simbah tak menjawab. Dari dua kelopak matanya mengalir butir-butir air mata membasahi pipi keriputnya dan jatuh di piring bekas makan siang yang belum sempat dibawa ke dapur.
“Lalu apa arti sukses menurutmu,” tanya Simbah lirih.
Suara ayah dan anak itu tak lagi terdengar. Ku akhiri catatanku tentang dialog Simbah dan Pakdhe siang itu dengan satu pertanyaan, “Apa Arti Sukses itu?,”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar