“Media Online ini sukanya merusak
tata bahasa,”. Kata Simbah yang duduk menikmati secangkir kopi di
teras rumah sambil 'memainkan' komputer tablet hadiah sang menantu
awal Desember lalu.
Jemari tangannya mengusap layar tablet
yang bertumpu pada punggung paha kakinya dan berhenti ketika ada
berita yang menurut dia menarik. Sudah dua bulan di rumah tak lagi
langganan koran cetak, ataupun majalah.
Sebagai gantinya Simbah mengisi pagi
harinya dengan membaca berita di media Online melalui iPad atau
Tablet yang dipinjam dari Pakdhe atau Budhe. Sejak era digitalisasi
informasi, Pakdhe mulai tak langganan koran dan media cetak lainnya.
Maklum dia manusia super sibuk dengan
segudang aktivitas sehingga gak sempat baca koran. Sebagai gantinya
dia selalu mengupdate informasi dari media online. Kebiasaan itu dia
tularkan ke Simbah yang kini mengancik usia 73 tahun.
Sebagai penikmat berita dan penyuka
sastra Simbah mengaku tak nyaman membaca berita Media Online.
Apalagi
yang jika berita itu ditayangkan hanya demi mengejar kecepatan dan
sensasi. “Ini coba judulnya hanya cari sensasi saja,” kata Simbah
sambil menunjuk sebuah berita yang judulnya diawali dengan kata,
'Dahsyat!,...Begini.. Inilah, dll..
Simbah kemudian membandingkan dengan
koran yang dia baca sebelum kami berhenti langganan. Kata Simbah yang
mantan guru bahasa Indonesia itu, artikel di koran lebih enak dibaca,
dan dinikmati.
Meski sebenarnya menurut Simbah,
kemampuan jurnalis sekarang untuk menyajikan berita yang benar-benar
enak dibaca, dan 'nyastra' mulai berkurang. “Tapi koran dan majalah
lebih enak dibaca sambil ngopi,” kata Simbah sambil menyeruput kopi
yang tinggal ampasnya itu.
Di tengah asyik 'mencela' Media online,
Pakdhe muncul dari balik pagar rumah sambil mengelap keringat yang
masih membasahi tubuhnya usai lari mengelilingi komplek.
“Ya beda tho Mbah, antara media
online, koran dan majalah itu. Khususon karakter pembaca mereka”
kata Pakdhe sambil perlahan melepas tali sepatunya.
Menurut Pakdhe, pembaca media online
adalah mereka yang ingin mendapatkan informasi secara cepat. Misalnya
kejadian rapat paripurna di DPR yang dilaporkan setiap detik
kejadianya. Pembaca media online tak perlu mendapatkan detail cerita
yang muluk-muluk.
Sehingga kata Pakdhe, berita di media
online biasanya pendek-pendek namun tetap terpenuhi unsur 5W+1H.
Karena mengejar kecepatan tak jarang redaksi luput mempertahankan
akurasi. Misalnya typo atau salah ketik.
“Tapi juga gak harus pakai judul yang
fantastis kelessss,” saut Simbah yang sok menggunakana bahasa gaul.
“Begini simbah selain tak mau baca
berita yang panjang di layar, pembaca online juga cenderung tertarik
pada berita-berita yang judulnya keren, dan mungkin bombastis serta
mohon maaf terkadang 'menjual' kata-kata seksi atau vulgar,” kata
Pakdhe dengan nada bijak, maklum dia memang dikenal jago lobi.
Pembaca media online menurut Pakdhe tak
banyak yang suka dengan berita-berita serius, banyak menampilkan data
atau hitungan njlimet. Nah wartawan di media online dengan
fakta-fakta itu harus mampu menampilkan berita yang menarik pembaca
untuk mengeklik.
“Jadi tantangan wartawan media online
itu, harus bersaing dengan televisi dan radio, mampu menampilkan
berita dengan judul yang bisa menarik pengeklik alias pembaca, “
papar Pakdhe.
“Apakah berita dengan judul menarik
mematuhi kaidah tata bahasa dan sedikit nyastra tak banyak yang
baca,” tanya Simbah.
Nah menurut Pakdhe, itu juga menjadi
tantangan bagi wartawan di media online. “Mampu menampilkan berita
dengan judul yang tidak menyalahi tata bahasa, sedikit nyastrawi tapi
menarik pembaca media online untuk membaca sehingga bisa
meningkatkan Pageview, serta unique visitor,” kata Pakdhe.
“Opo kuwi pageview ama unique visitor
iku,” tanya Simbah.
Sayang Pakdhe keburu menyambar handuk
dan bergegas ke kamar mandi. “Besok disambung lagi Mbah,” jawab
Pakdhe.
Dan sayapun menutup laptop saya
mengakhiri catatan atas adegan dialog Padhe dan Simbah di teras
rumah.
Selamat malam kawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar