Gerimis
turun selepas Shubuh di kawasan Karangkadempel pagi itu. Sebagian Jamaah
meninggalkan Masjid Al Istiqomah dan langsung menuju rumah. Termasuk Pakdhe dan
Simbah.
Pakdhe
menggandeng Simbah menaiki tiga undakan tangga menuju teras rumah untuk
kemudian duduk di kursi persis di balik kamar saya. Setelah posisi duduk Simbah
sudah tepat, Pakdhe bersiap masuk ke dalam rumah.
Namun
langkah Pakdhe tertahan saat Simbah bertanya,”Kalau semua orang sekarang baca
Media Online, siapa yang mau beli koran dan majalah cetak?.
Padhe
mengambil posisi duduk persis di depan Simbah. Tasbih dan sajadah dia taruh di
lengan kursi. “Pembaca setia koran masih tetap ada Mbah. Barangkali memang usia
pembaca Koran dan majalah cetak adalah kalangan yang tak lagi muda,” Pakdhe
coba menjawab pertanyaan Simbah.
Menurut
Pakdhe karakter pembaca Koran berbeda dengan media online. Pembaca Koran ingin membaca
sebuah informasi yang lengkap, utuh dan tidak terpotong-potong seperti di media
online. Terkadang mereka juga ingin membaca kolom atau analisis dari pakar yang
sering ditampilkan di Koran.
Begitu
juga pembaca majalah yang biasanya terbit seminggu sekali. Pembaca majalah
mingguan tak sekadar berharap memperoleh informasi, mereka juga ingin
mendapatkan hiburan dari membaca sebuah artikel.
“Kalau
sudah membaca di internet lalu buat apa baca lagi Koran dan majalah,” tanya Simbah
sambil menyalakan sebatang rokok kretek.
Tak
mau kalah, pakdhe kemudian mengambil sebuah rokok filter dari saku celana
pendek kemudian dia nyalakan. Wushhhhhh…
asap mengepul menerobos lewat celah jemari membumbung ke plafon setelah lebih
dulu melintasi hidung, kepala kemudian rambut Pakdhe.
“Nah
di situlah makanya jurnalis Koran dan majalah dituntut menyajikan berita yang
lebih maju dari media online dan meramunya menjadi sebuah artikel menarik untuk
dibaca,” kata Pakdhe.
Dia
kemudian mengutip kuliah Twitter dari jurnalis Tempo @hidayatbagdja tentang
strategi media cetak menghadapi media online. Cieeee….
Jangan
salah, meski usia sudah hampir mengancik setengah abad namun Pakdhe termasuk
generasi gaul alias melek media sosial. Punya akun Twitter, Instagram bahkan Path.
Nah
dari yang dia ikuti di kultwit tersebut menurut pakdhe wartawan di media online,
Koran dan majalah memiliki satu kiat khusus untuk membuat sebuah peristiwa
tetap menarik dan perlu dibaca, yakni angle.
“Angle
inilah yang menentukan jenis berita di online, Koran dan majalah. Wartawan
harus pandai memilih angle,” kata Pakdhe.
Sebuah
peristiwa penting yang terjadi hari ini tentu sudah habis ditayangkan oleh
media online, televisi dan radio. Nah Koran yang baru terbit keesokan harinya
harus menampilkan berita dengan angle berbeda dari media online.
Begitu
juga majalah yang baru terbit satu pekan setelahnya juga harus memilih angle
berbeda dengan koran dan majalah. Mereka harus menerapkan teknik pengawetan
info melalui pemilihan angle yang tepat.
“Kalau
tidak cerdas memilih angle, koran dan majalah hanya akan menyajikan berita
basi. Orang pun malas membaca koran atau majalah,” kata Pakdhe.
Simbah
hanya manggut-manggut mendengar penjelasan dari Pakdhe. Mbah Putri keluar dari
dalam rumah membawa dua cangkir teh poci, dan beberapa potong rebusan untuk
sarapan.
“Saya
cari koran satu lembar saja untuk alas gorengan dari kemarin kok susah banget,
pada kemana Koran itu,” tanya Simbah Putri.
“Walah zaman sekarang, cari Koran kok ya hanya
pas butuh alas gorengan, bungkus kacang. Terus gimana nasib media cetak
nantinya?,” tanya Simbah.
Pakdhe
tak langsung menjawab karena izin mau mandi dan bersiap ke kantor. Aku pun
mematikan laptop, menyimpan catatan tentang dialog Pakdhe dan Simbah tadi.
“Koran…koran…koran,”
teriak Mang Sodik yang menjajakan Koran di komplek rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar