"Seperti 'kehidupan' di jalan raya, semua merasa benar. Tak ada yang merasa salah. Pemobil salahkah pemotor, pemotor salahkan pejalan kaki, pejalan kaki salahkan pemobil,". Kalimat itu diucapkan Mbah Mangun dari balik pagar gapura saat berjalan bersama Simbah dan Pak Dhe, usai mengikuti rapat RW.
Meski berjarak 10 meter dari kamarku, suara khas Mbah Mangun yang agak ngebass karena sering merokok terdengar jelas. Saya kurang paham materi pembicaraan tiga pria generasi 40-an itu. Hanya saat mereka bertiga berjalan menuju teras persis di samping kamarku, terdengar sayup-sayup mereka membahas sejumlah perdebatan yang akhir-akhir ini terjadi.
Mbah Mangun menyoroti soal perlu tidaknya warung makan tutup siang hari selama bulan Ramadan. Ada pihak yang meminta warung makan tutup siang hari demi menghormati orang puasa. Mereka meminta aparat keamanan dalam hal ini satuan polisi Pamong Pradja bertindak tegas; menindak warung makan yang buka di siang hari.
Kasus terakhir terjadi di Serang, Banten saat Satpol PP mengangkut dagangan di Warung Ibu Saeni karena buka di siang hari. Di sinilah kemudian muncul pro dan kontra. Pihak yang berpaham bahwa umat Islam harus menghormati orang yang tidak puasa memprotes keras aksi Satpol PP tersebut karena dinilai berlebihan.
Perdebatan soal perlu tidaknya umat Islam menghormati orang yang tidak berpuasa bukan hal baru, terjadi sudah hampir sepuluh tahun belakangan ini. Namun perdebatan itu seperti tiada akhir.
"Kita sibuk berdebat soal perlu tidaknya warung tutup di siang hari selama Ramadan sampai kita lupa esensi bulan puasa, kita lupa beribadah, membaca Alquran, menyantuni anak yatim dan sodaqoh. Waktu habis untuk berdebat," kata Mbah Mangun persis saat pantatnya menyentuh kursi untuk duduk.
Simbah menyusul duduk dengan mengambil kursi paling panjang persis di bibir jendela kamarku. Pak Dhe tak langsung mengambil tempat duduk. Dia melihat burung perkutut dan sejumlah peksi peliharaanya yang digantung di tritisan.
"Tekukur...kur..tekukur..kur"...
Suara burung kelangenan Pak Dhe dan Simbah itu bersuara nyaring. Suasana pagi pun kian adem, ayem dan tenteram.
Simbah yang baru saja kembali dari kampung 'mengambil kendali diskusi' pagi itu. Dia menceritakan pengalaman saat kemarin ikut salat Tarawih di kampung.
Dulu lima belas tahun yang lalu sebelum hijrah ke kota ikut anak, menantu dan cucu, Salat Tarawih dan Witir sebanyak 11 rakaat dengan diselingi kuliah tujuh menit. Kemarin sewaktu pulang kampung di pekan pertama Ramadan, Salat Tarawih di kampung Simbah menjadi 23 rakaat tanpa ada jeda kultum.
Bagi rekan-rekan seangkatan Simbah, termasuk barangkali Simbah Salat 23 rakaat tanpa jeda kultum jelas bukan hal yang ringan. Apalagi Simbah dan rekan-rekannya ini Islamnya kalau boleh dikata masih abangan.
"Saya ini Islam sejak lahir, tapi yo memang baru salat itu sepuluh tahun terakhir. Itu pun kadang masih bolong-bolong. Mungkin baru rutin tanpa bolong lima tahun terakhir," kata Simbah.
Nah persoalannya banyak rekan Simbah yang angkatan 45 dan kini berusia 60 tahun baru mulai belajar Salat. Dengan 23 rakaat terkadang Imam 'ngebut', bacaan suratnya pendek dan cepat.
"Lha baru mau belajar Salat, langsung 23 rakaat dan cepat pula. Boyok ini agak berat," kata Simbah.
Mbah Mangun menimpali bahwa perbedaan, 11 dan 23 rakaat ini juga sempat jadi perdebatan meski tak seriuh soal perlu tidaknya warung buka siang hari di bulan Ramadan. "11 rakaat bacaan tertib atau 23 rakaat tapi salatnya cepat, bacaanya satu nafas,".
Pak Dhe menengahi diskusi. Soal perbedaan pandangan itu semestinya tak perlu menjadi perdebatan serius yang mengarah perpecahan. "Bukankah perbedaan itu adalah rahmat?"
"Bagi yang sadar bahwa perbedaan itu adalah rahmat, tentu bisa mengambil sikap bijak. Namun sepertinya negeri ini sudah terlanjur banyak orang yang terlalu pintar dan ingin dianggap pintar sehingga menjadi pendebat ulung. Contohnya, lihatlah di gedung DPR," kata Mbah Mangun.
Obrolan tiga pria paruh baya itu terhenti ketika terdengar lantunan ayat suci dari Masjid sebelah rumah. Pertanda sebentar lagi masuk waktu Dzuhur. Mereka mengakhir perbincangan dan bergegas ke Masjid.
Satu kalimat yang menarik dari obrolan mereka bertiga hari ini adalah: Negeri Para Pendebat.
Meski berjarak 10 meter dari kamarku, suara khas Mbah Mangun yang agak ngebass karena sering merokok terdengar jelas. Saya kurang paham materi pembicaraan tiga pria generasi 40-an itu. Hanya saat mereka bertiga berjalan menuju teras persis di samping kamarku, terdengar sayup-sayup mereka membahas sejumlah perdebatan yang akhir-akhir ini terjadi.
Mbah Mangun menyoroti soal perlu tidaknya warung makan tutup siang hari selama bulan Ramadan. Ada pihak yang meminta warung makan tutup siang hari demi menghormati orang puasa. Mereka meminta aparat keamanan dalam hal ini satuan polisi Pamong Pradja bertindak tegas; menindak warung makan yang buka di siang hari.
Kasus terakhir terjadi di Serang, Banten saat Satpol PP mengangkut dagangan di Warung Ibu Saeni karena buka di siang hari. Di sinilah kemudian muncul pro dan kontra. Pihak yang berpaham bahwa umat Islam harus menghormati orang yang tidak puasa memprotes keras aksi Satpol PP tersebut karena dinilai berlebihan.
Perdebatan soal perlu tidaknya umat Islam menghormati orang yang tidak berpuasa bukan hal baru, terjadi sudah hampir sepuluh tahun belakangan ini. Namun perdebatan itu seperti tiada akhir.
"Kita sibuk berdebat soal perlu tidaknya warung tutup di siang hari selama Ramadan sampai kita lupa esensi bulan puasa, kita lupa beribadah, membaca Alquran, menyantuni anak yatim dan sodaqoh. Waktu habis untuk berdebat," kata Mbah Mangun persis saat pantatnya menyentuh kursi untuk duduk.
Simbah menyusul duduk dengan mengambil kursi paling panjang persis di bibir jendela kamarku. Pak Dhe tak langsung mengambil tempat duduk. Dia melihat burung perkutut dan sejumlah peksi peliharaanya yang digantung di tritisan.
"Tekukur...kur..tekukur..kur"...
Suara burung kelangenan Pak Dhe dan Simbah itu bersuara nyaring. Suasana pagi pun kian adem, ayem dan tenteram.
Simbah yang baru saja kembali dari kampung 'mengambil kendali diskusi' pagi itu. Dia menceritakan pengalaman saat kemarin ikut salat Tarawih di kampung.
Dulu lima belas tahun yang lalu sebelum hijrah ke kota ikut anak, menantu dan cucu, Salat Tarawih dan Witir sebanyak 11 rakaat dengan diselingi kuliah tujuh menit. Kemarin sewaktu pulang kampung di pekan pertama Ramadan, Salat Tarawih di kampung Simbah menjadi 23 rakaat tanpa ada jeda kultum.
Bagi rekan-rekan seangkatan Simbah, termasuk barangkali Simbah Salat 23 rakaat tanpa jeda kultum jelas bukan hal yang ringan. Apalagi Simbah dan rekan-rekannya ini Islamnya kalau boleh dikata masih abangan.
"Saya ini Islam sejak lahir, tapi yo memang baru salat itu sepuluh tahun terakhir. Itu pun kadang masih bolong-bolong. Mungkin baru rutin tanpa bolong lima tahun terakhir," kata Simbah.
Nah persoalannya banyak rekan Simbah yang angkatan 45 dan kini berusia 60 tahun baru mulai belajar Salat. Dengan 23 rakaat terkadang Imam 'ngebut', bacaan suratnya pendek dan cepat.
"Lha baru mau belajar Salat, langsung 23 rakaat dan cepat pula. Boyok ini agak berat," kata Simbah.
Mbah Mangun menimpali bahwa perbedaan, 11 dan 23 rakaat ini juga sempat jadi perdebatan meski tak seriuh soal perlu tidaknya warung buka siang hari di bulan Ramadan. "11 rakaat bacaan tertib atau 23 rakaat tapi salatnya cepat, bacaanya satu nafas,".
Pak Dhe menengahi diskusi. Soal perbedaan pandangan itu semestinya tak perlu menjadi perdebatan serius yang mengarah perpecahan. "Bukankah perbedaan itu adalah rahmat?"
"Bagi yang sadar bahwa perbedaan itu adalah rahmat, tentu bisa mengambil sikap bijak. Namun sepertinya negeri ini sudah terlanjur banyak orang yang terlalu pintar dan ingin dianggap pintar sehingga menjadi pendebat ulung. Contohnya, lihatlah di gedung DPR," kata Mbah Mangun.
Obrolan tiga pria paruh baya itu terhenti ketika terdengar lantunan ayat suci dari Masjid sebelah rumah. Pertanda sebentar lagi masuk waktu Dzuhur. Mereka mengakhir perbincangan dan bergegas ke Masjid.
Satu kalimat yang menarik dari obrolan mereka bertiga hari ini adalah: Negeri Para Pendebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar