Resensi ini saya tulis untuk www.edisi.hariandetik.com edisi Sabtu 12 Oktober 2012
Silakan klik link di sini : Yang Terusir di Negeri Sendiri
Bagi yang kesulitan membuka link silakan baca artikel di bawah ini.
Miris. Entah seperti apa perasaan Empu Tantular jika saat ini masih hidup. Pengarang Kakawin Sutasoma itu tentu tak menduga salah satu ajarannya menjadi moto negeri ini: Bhinneka Tunggal Ika. Terpecah-belahlah itu, tapi satu jugalah. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Begitulah cita-cita sang pujangga.
Namun apa yang terjadi ratusan tahun kemudian. Ajaran sang empu hanyalah dijadikan moto. Dalam prakteknya, negeri ini masih jauh dari kata toleransi. Belum sepenuhnya masyarakat menyadari adanya perbedaan antara satu dan yang lainnya.
Okky Madasari menuliskan hal itu dalam sebuah novel. Maryam adalah karyanya yang ketiga setelah 86, yang masuk lima besar anugerah sastra Khatulistiwa Literary Award 2011, dan Entrok.
Kisah nyata itu masih terjadi di negeri ini. Ia berhasil menyuguhkan kisah yang mengharukan tanpa kalimat hiperbolis. Dia menarasikan kisah perjalanan Maryam dengan kalimat sederhana. Kisah dibuka dengan keraguan Maryam saat harus pergi dari Jakarta kembali ke kampung halamannya di Gerupuk, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Rasa bersalah karena tak menuruti nasihat kedua orang tua menjadi penyebabnya. Dia memilih menikah dengan pria yang bukan dari kalangan Ahmadiyah.
ERWINDAR
Silakan klik link di sini : Yang Terusir di Negeri Sendiri
Bagi yang kesulitan membuka link silakan baca artikel di bawah ini.
Yang Terusir di Negeri Sendiri
Judul Buku: Maryam
Penulis: Okky Madasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbitan: Februari 2012
Tebal: 280 halaman
Penulis: Okky Madasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbitan: Februari 2012
Tebal: 280 halaman
Tanpa kalimat hiperbolis, dengan narasi yang sederhana.
Miris. Entah seperti apa perasaan Empu Tantular jika saat ini masih hidup. Pengarang Kakawin Sutasoma itu tentu tak menduga salah satu ajarannya menjadi moto negeri ini: Bhinneka Tunggal Ika. Terpecah-belahlah itu, tapi satu jugalah. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Begitulah cita-cita sang pujangga.
Namun apa yang terjadi ratusan tahun kemudian. Ajaran sang empu hanyalah dijadikan moto. Dalam prakteknya, negeri ini masih jauh dari kata toleransi. Belum sepenuhnya masyarakat menyadari adanya perbedaan antara satu dan yang lainnya.
Okky Madasari menuliskan hal itu dalam sebuah novel. Maryam adalah karyanya yang ketiga setelah 86, yang masuk lima besar anugerah sastra Khatulistiwa Literary Award 2011, dan Entrok.
Kisah nyata itu masih terjadi di negeri ini. Ia berhasil menyuguhkan kisah yang mengharukan tanpa kalimat hiperbolis. Dia menarasikan kisah perjalanan Maryam dengan kalimat sederhana. Kisah dibuka dengan keraguan Maryam saat harus pergi dari Jakarta kembali ke kampung halamannya di Gerupuk, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Rasa bersalah karena tak menuruti nasihat kedua orang tua menjadi penyebabnya. Dia memilih menikah dengan pria yang bukan dari kalangan Ahmadiyah.
Namun impian bakal hidup bahagia tanpa mengungkit perbedaan tak terwujud. Meski Maryam tak lagi menjadi Ahmadi sejati, sang mertua masih menyindir bahwa Maryam pernah menganut aliran sesat. Tak betah diperlakukan tidak adil, dia memilih bercerai dan kembali ke kampung halaman.
Siapa sangka, di kampung halamannya dia justru harus mendapati kenyataan yang lebih pahit.
Siapa sangka, di kampung halamannya dia justru harus mendapati kenyataan yang lebih pahit.
Keluarganya terusir dari kampung yang telah mengasuhnya sejak kecil. Masyarakat dan tetangga yang selama puluhan tahun hidup berdampingan secara damai kini memusuhi keluarga Maryam. Dia ingin berontak. Namun tak satu pun orang yang peduli. Kepedihannya mulai terobati saat kembali menemukan kedua orang tua dan adik tunggalnya dalam keadaan selamat, meski tak lagi tinggal di kampung halaman.
Maryam dan keluarganya serta beberapa penganut Ahmadi bisa hidup damai dalam satu perumahan. Hingga kemudian Maryam yang janda menikah dengan Umar, sesama penganut Ahmadi. Sayang, kedamaian itu tak berlangsung lama. Orang-orang Ahmadi kembali dikejar dan diusir karena dianggap sesat. Polisi, Gubernur, dan pejabat tinggi di negara ini tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan salah satu pejabat di NTB menyarankan agar penganut Ahmadi mencari suaka ke Australia. Sungguh saran yang tak bijak.
Di negeri ini seperti tak ada hak bagi warga Ahmadi. Rumah dan harta benda, bahkan darah mereka, seolah halal dirampas. Bahkan, saat ayah Maryam meninggal, warga kampung halamannya tak menerima jasadnya. Meski telah puluhan tahun tinggal di Gerupuk, warga tak mau penganut Ahmadi dimakamkan di kampung mereka. Dan sekali lagi, negara seperti tak bisa melindungi hak-hak warganya.
Maryam tak sanggup lagi menangis. Air matanya seperti sudah habis. Dia tak habis pikir akan terusir dari rumah sendiri, yang dibangun atas keringat orang tua dan kakeknya. Hak-haknya sebagai warga tak dijamin oleh negara.
Okky Madasari, yang pernah kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, belum bisa menuntaskan novel ini. Entahlah, apakah akan lahir sebuah trilogi atau tetralogi tentang Ahmadi, belum bisa terjawab, sebagaimana tak terjawabnya pertanyaan kapan Ahmadi dan keyakinan lain tak lagi dianggap sesat. Sebab, sesat dan tidak itu urusan Tuhan, bukan negara.
Maryam dan keluarganya serta beberapa penganut Ahmadi bisa hidup damai dalam satu perumahan. Hingga kemudian Maryam yang janda menikah dengan Umar, sesama penganut Ahmadi. Sayang, kedamaian itu tak berlangsung lama. Orang-orang Ahmadi kembali dikejar dan diusir karena dianggap sesat. Polisi, Gubernur, dan pejabat tinggi di negara ini tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan salah satu pejabat di NTB menyarankan agar penganut Ahmadi mencari suaka ke Australia. Sungguh saran yang tak bijak.
Di negeri ini seperti tak ada hak bagi warga Ahmadi. Rumah dan harta benda, bahkan darah mereka, seolah halal dirampas. Bahkan, saat ayah Maryam meninggal, warga kampung halamannya tak menerima jasadnya. Meski telah puluhan tahun tinggal di Gerupuk, warga tak mau penganut Ahmadi dimakamkan di kampung mereka. Dan sekali lagi, negara seperti tak bisa melindungi hak-hak warganya.
Maryam tak sanggup lagi menangis. Air matanya seperti sudah habis. Dia tak habis pikir akan terusir dari rumah sendiri, yang dibangun atas keringat orang tua dan kakeknya. Hak-haknya sebagai warga tak dijamin oleh negara.
Okky Madasari, yang pernah kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, belum bisa menuntaskan novel ini. Entahlah, apakah akan lahir sebuah trilogi atau tetralogi tentang Ahmadi, belum bisa terjawab, sebagaimana tak terjawabnya pertanyaan kapan Ahmadi dan keyakinan lain tak lagi dianggap sesat. Sebab, sesat dan tidak itu urusan Tuhan, bukan negara.
ERWINDAR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar