Ratusan tahun lalu, Empu Tantular mengarang Kakawin Sutasoma. Kini salah satu ajarannya menjadi moto negeri ini: bineka tunggal ika. Terpecah belah tapi satu juga. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Begitulah cita-cita sang pujangga. Namun, separuh abad lebih usia bangsa ini, filosofi ajaran itu baru sebatas moto. Dalam prakteknya, negeri ini masih jauh dari kata toleransi. Belum sepenuhnya masyarakat menyadari adanya perbedaan satu dengan yang lainnya.
Dua contoh peristiwa terjadi Senin lalu. Ibadat malam Natal sekitar 60 anggota Gereja Kristen Indonesia Taman Yasmin di salah satu rumah warga di Taman Cimanggu, Bogor Barat, terpaksa dibatalkan. Aparat keamanan tak memberi izin kepada mereka. Nasib serupa dialami jemaat Gereja HKBP Filadelfia, Bekasi. Ibadat malam Natal di tempat ini terpaksa dihentikan akibat kericuhan kecil antara jemaat dan warga Kampung Jalen, Desa Jejalen Jaya, Tambun Utara, Bekasi.
Kemarin jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia melakukan misa Natal di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Ini sekaligus menjadi bentuk protes kepada pemerintah, yang dianggap belum mampu menjamin warganya menjalankan ibadah. Kita patut bersyukur perayaan Natal tahun ini relatif berjalan aman. Namun bukan berarti masalah GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia bisa diabaikan begitu saja.
Masalah di GKI Yasmin sudah berlangsung dari 2004. Sejak itu rentetan peristiwa terjadi dan menodai makna toleransi di negeri ini. Pemerintah harus lekas turun tangan. Masalah ini tak boleh dibiarkan menjadi isu suku agama, ras, dan antargolongan. Kementerian Agama, tokoh agama, dan tokoh masyarakat harus bekerja sama. Isu SARA tak boleh dibiarkan berkembang subur karena bisa dengan mudah berkembang menjadi anarki. ini butuh kedamaian. Rakyat butuh kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar