Materi Khotbah Jumat tadi
tentang 'Arti Sukses' rupanya memantik Simbah untuk membahasnya
sesampai di rumah. Sambil bersantap siang di teras, Simbah dan
Pakdhe berdiskusi soal 'Arti Sukses'.
Setiap orang menurut
Simbah memiliki tolak ukur yang berbeda-beda dalam mengartikan kata
sukses. Seorang pedagang jamu yang berhasil menyekolahkan anaknya
hingga meraih gelar sarjana misalnya bisa disebut sukses.
“Pedagang jamu itu
sukses mengantar anaknya hingga ke jenjang pendidikan tinggi,” kata
Simbah.
Ada juga seorang pedagang
makanan yang merasa sukses setelah berhasil mencapai omset Rp 1 juta
per hari, dan memiliki beberapa cabang. Atau seorang pengojek yang
bisa mendapatkan penghasilan Rp 100 ribu per hari juga sudah merasa
sukses.
“Jadi ukuran sukses bagi
setiap orang itu berbeda-beda,” kata Simbah.
Gerimis
turun selepas Shubuh di kawasan Karangkadempel pagi itu. Sebagian Jamaah
meninggalkan Masjid Al Istiqomah dan langsung menuju rumah. Termasuk Pakdhe dan
Simbah.
Pakdhe
menggandeng Simbah menaiki tiga undakan tangga menuju teras rumah untuk
kemudian duduk di kursi persis di balik kamar saya. Setelah posisi duduk Simbah
sudah tepat, Pakdhe bersiap masuk ke dalam rumah.
Namun
langkah Pakdhe tertahan saat Simbah bertanya,”Kalau semua orang sekarang baca
Media Online, siapa yang mau beli koran dan majalah cetak?.
Padhe
mengambil posisi duduk persis di depan Simbah. Tasbih dan sajadah dia taruh di
lengan kursi. “Pembaca setia koran masih tetap ada Mbah. Barangkali memang usia
pembaca Koran dan majalah cetak adalah kalangan yang tak lagi muda,” Pakdhe
coba menjawab pertanyaan Simbah.
Menurut
Pakdhe karakter pembaca Koran berbeda dengan media online. Pembaca Koran ingin membaca
sebuah informasi yang lengkap, utuh dan tidak terpotong-potong seperti di media
online. Terkadang mereka juga ingin membaca kolom atau analisis dari pakar yang
sering ditampilkan di Koran.
Begitu
juga pembaca majalah yang biasanya terbit seminggu sekali. Pembaca majalah
mingguan tak sekadar berharap memperoleh informasi, mereka juga ingin
mendapatkan hiburan dari membaca sebuah artikel.
“Kalau
sudah membaca di internet lalu buat apa baca lagi Koran dan majalah,” tanya Simbah
sambil menyalakan sebatang rokok kretek.
Tak
mau kalah, pakdhe kemudian mengambil sebuah rokok filter dari saku celana
pendekkemudian dia nyalakan. Wushhhhhh…
asap mengepul menerobos lewat celah jemari membumbung ke plafon setelah lebih
dulu melintasi hidung, kepala kemudian rambut Pakdhe.
“Media Online ini sukanya merusak
tata bahasa,”. Kata Simbah yang duduk menikmati secangkir kopi di
teras rumah sambil 'memainkan' komputer tablet hadiah sang menantu
awal Desember lalu.
Jemari tangannya mengusap layar tablet
yang bertumpu pada punggung paha kakinya dan berhenti ketika ada
berita yang menurut dia menarik. Sudah dua bulan di rumah tak lagi
langganan koran cetak, ataupun majalah.
Sebagai gantinya Simbah mengisi pagi
harinya dengan membaca berita di media Online melalui iPad atau
Tablet yang dipinjam dari Pakdhe atau Budhe. Sejak era digitalisasi
informasi, Pakdhe mulai tak langganan koran dan media cetak lainnya.
Maklum dia manusia super sibuk dengan
segudang aktivitas sehingga gak sempat baca koran. Sebagai gantinya
dia selalu mengupdate informasi dari media online. Kebiasaan itu dia
tularkan ke Simbah yang kini mengancik usia 73 tahun.
Sebagai penikmat berita dan penyuka
sastra Simbah mengaku tak nyaman membaca berita Media Online.
Demo menolak kenaikan harga BBM di Cikini (Foto-detikcom)
Bila Jokowi ada diplomasi di meja makan, aku pun juga melakukannya. Hanya bedanya aku lakukan itu di meja makan saat bersantap sarapan, dan seringnya untuk 'merayu' istri atau anakku, Najma.
Mengapa diplomasi sarapan?. Jawabannya sederhana, ya karena kami bisa punya waktu lebih selain hari libur adalah saat jam makan pagi alias sarapan.
Di meja makan saat sarapan itulah saya mencoba melakukan 'diplomasi' yang terkadang ngalor ngidul tanpa arah. Yaah.. paling tidak aku bisa merasa lebih dekat dengan mereka.
Hingga kini aku tetap tak habis pikir, restoran cepat saji seperti McD dan KFC selalu ramai oleh pengunjung. Rata-rata yang jajan adalah anak-anak, beberapa juga ada remaja dan segelintir yang berusia menjelang tua.
Sabtu (15/11/2014) malam lalu misalnya, bersama istri dan anakku aku mampir di sebuah restoran cepat saji di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Dan seperti biasa pembeli harus antre beberapa meter di'warung saji' ini sebelum bersantap.
Sekian lama sudah blog ini tak saya isi. Hari ini tiba-tiba saya berniat mengisi karena terusik oleh artikel Tentang Ayah yang ditulis oleh seorang kawan.
*****
Suasana lebaran masih terasa di Desa Sumberagung, Celep, Nguter, Sukoharjo pada Jumat petang, 1 Agustus 2014. Menjelang Isya itu aku sendirian ke rumah masa kecilku. Aku, Bapak dan Ibu hanya bertiga ngobrol ngalur ngidul.
Sampai saat jarum jam hendak menyentuh angka sembilan, aku minta izin Sholat Isya di kamar Bapak. Usai Sholat aku tiduran di ranjang sambil membaca sebuah buku Mahabarata yang sepertinya belum selesai dibaca Bapak.
Tak terasa aku tertidur, hingga terbangun menjelang jam 11 malam ketika terdengar suara langkah kaki menjauh dari kamar. Rupanya Bapak baru saja masuk ke kamar, menyelimuti sebagian tubuhku agar tak kedinginan. Maklum udara kampungku yang tak jauh dari kaki Gunung Lawu cukup dingin di malam hari.
Rupanya bapak tak ingin anaknya yang bandel di waktu kecil ini kedinginan sehingga perlu memberikan selimut.
Saat aku sibak selimut terlihat bercak darah di bagian lutut. Darah dari nyamuk yang mungkin hinggap dan mengigit saat aku terlelap. Tak hanya di kaki, di dinding kamar ada beberapa bercak darah nyamuk.
Bapak tak mau putranya yang tak lagi bocah ini menderita, merasakan sakit meski hanya oleh gigitan seekor nyamuk sekalipun.
Di luar kamar aku lihat, Bapak hendak berniat tidur di atas Sofa ruang tamu. Sementara Ibu sudah lebih dulu terlelap di atas karpet persis di depan Televisi.
Demi seorang putra yang entah berapa kali telah menyakiti dan mengecewakannya, Bapak tetap memperlakukan aku seperti seorang bocah. Perlu diselimuti agar tak kedinginan, dijaga agar tak ada satupun nyamuk yang menghisap darahku.