Beranda

Selasa, 15 Mei 2012

Generasi Instan Partai Politik

Ki Sanak, soal rendahnya kualitas kader partai politik tentu bukan hal baru. Publik telah disuguhi aneka tontonan, betapa perilaku elit politik di negeri ini masih jauh dari harapan. Bukan bermaksud menggurui atau sok pinter jika kemudian saya menulis soal 'Generasi Instan Partai Politik' di Harian Detik edisi Selasa 15 Mei 2012. Tulisan ini sekedar mengingatkan betapa perlunya partai menyiapkan kadernya secara serius. selamat menikmati.  selengkapnya klik di sini


Atau jika masih kesulitan ini artikel aslinya:






Generasi Instan Partai Politik



Dunia politik Indonesia memasuki generasi serba instan. Ingin meraih tujuan dan kekuasaan tanpa kerja keras. Ini sudah berlangsung hampir satu dasarwarsa terakhir. Tepatnya sejak periode 2004 lalu. Zaman di mana partai politik tidak memiliki greget menjalankan fungsi pengkaderan. Gejala ini
mulai muncul saat partai sukses memasang tokoh publik, semisal artis, dan pengusaha sebagai vote getter untuk menggenjot perolehan suara. Kesuksesan ini rupanya merembet, tak hanya di ajang pemilihan umum melainkan juga ke pemilihan kepala daerah. Meski sudah disadari dampak buruknya, toh kebiasaan ini tetap berlangsung sampai sekarang.



Partai cenderung manja dan bergantung pada figur, bukan kemampuan politik seorang kader. Garis ideolagi partai politik kini tak jelas. Tujuan dan orientasinya telah berubah dari memperjuangan kehidupan rakyat, menjadi sekedar mengejar kekuasaan, jabatan politik dan kekayaan. Lahirnya kader instan menjadi bukti analisa ini. Praktis partai politik hanya bekerja saat menjelang pemilihan umum. Tentunya dengan mengandalkan publik figur, pengusaha atau pemilik modal. Fakta ini jelas membahayakan kehidupan bernegara. Selamanya partai politik hanya akan mengandalkan figur seseorang, bukan kemampuan politik seorang kader. Partai tak lagi peduli dengan kualitas dan ideologi kader, yang penting dia bisa memberi modal uang, dan sumbangan suara.

Akan lebih berbahaya apabila partai selalu bergantung pada pengusaha. Simbiosis ini akan memunculkan kolaborasi elite penguasa, dan pengusaha, yang bersekutu membentuk kartel politik. Partai tidak bedanya dengan institusi bisnis. Sekedar mencari keuntungan finansial, baik saat hajatan pesta demokrasi berlangsung maupun ketika ada proses politik di parlemen. Kartel politik semacam ini cenderung melahirkan budaya korup. Partai politik akan melakukan berbagai cara untuk mencapai keuntungan kelompok. Termasuk menyelewengkan kekuasaan dengan mendominasi posisi-posisi penting yang terkait pos anggaran Negara.



Tidak berlebihan tentunya jika disimpulkan bahwa partai politik telah gagal menjalankan fungsi pengkaderan. Kemampuan politikus, khususnya di parlemen belum bisa dikatakan berkualitas. Mari kita tengok dari soal yang kasat mata. Dalam hal kinerja, misalnya di bidang pembuatan undang-undang atau legislasi. Tahun 2011 lalu dari 70 rancangan undang-undang yang masuk Program Legislasi Nasional, hanya 24 RUU yang berhasil disahkan menjadi menjadi undang-undang. Hanya 30 persen, tak sampai separuhnya. Tahun ini Dewan hanya menargetkan 40 dari 64 RUU disahkan menjadi undang-undang.



Masyarakat mungkin sudah tak heran dengan rendahnya kinerja legislator kita. Televisi kerap menayangkan perilaku anggota dewan yang tidak produktif. Kursi sidang sering kosong saat pembahasan undang-undang, sedikitnya anggota yang aktif menyumbangkan pikiran, sampai perdebatan tak berkualitas dan menyimpang dari materi undang-undang yang dibahas. Seringkali perdebatan terjadi justru karena politikus tak pandai memilah isu, atau kurang menguasai masalah. Bahkan Mahkamah Konstitusi pernah menyatakan bahwa diduga proses pembahasan undang-undang di DPR ada yang diwarnai aksi jual-beli. Sarat kepentingan politik, sehingga Mahkamah harus bekerja lebih keras saat melakukan uji materi atas sebuah produk undang-undang.



Gagalnya pengkaderan juga menyebabkan munculnya perilaku tidak terpuji dari politikus di parlemen. Mulai dari membolos rapat, munculnya kata umpatan saat sidang, hingga perilaku tidak senonoh. Satu lagi, memunculkan perilaku korup yang sistematis dan terorganisir. Istilah bagi-bagi 'kue' seperti sudah menjadi bahasa umum di lingkup DPR. Artinya bagi-bagi kursi ketua komisi atau alat kelengkapan dewan lainnya.



Lahirnya kader instan yang membuat rendahnya kualitas parlemen di DPR merupakan bukti gagalnya pengkaderan oleh partai politik. Ideologi dan visi kini hanya sekedar jargon untuk mempercantik anggaran dasar dan rumah tangga partai. Tetapi minim dalam implemantasi. Pengurus partai tak lagi peduli dengan kualitas dan ideologi kader yang direkrut. Yang terpenting calon kader itu bisa memberi sumbangan suara, atau modal keuangan untuk partai. Padahal tanpa dasar ideologi yang kuat seorang kader akan sulit berkembang.



Pengkaderan bertujuan untuk mempersiapkan calon pemimpin politik. Namun faktanya fungsi ini sekarang mandul. Partai tidak memiliki stok calon pemimpin. Bahkan untuk pemilihan umum 2014 nanti hampir pasti calon yang akan bertarung masih merupakan stok lama. Belum ada generasi baru, tokoh politik muda yang bakal tampil.



Masih ada cukup waktu menuju 2014, saat pesta demokrasi kembali dihelat. Mulai sekarang partai bisa melakukan pengkaderan, menyiapkan dan menyeleksi calon wakilnya yang akan duduk di legislatif maupun eksekutif. Memilih publik figur, artis maupun pengusaha sebagai calon kader tentu bukan hal yang salah. Namun kepada mereka harus diberikan pendidikan politik yang cukup.



Pendidikan politik inilah yang bakal menjadikan seroang kader siap menggeluti berbagai persoalan sosial dalam bentuk atensi dan partisipasinya secara politik. Seorang kader bakal memiliki kepekaan atas ideologi politik yang dianutnya. Seorang kader harus memahami hakekat dan perjuangan partai. Setelah itu melaksanakan perannya sebagai politikus sesuai aturan, mekanisme yang jelas dan demokratis.



Keberhasilan partai melakukan pengkaderan akan menghasilkan pemimpin handal, kehidupan politik yang demokratis, hubungan sosial yang harmonis. Seorang pemimpin yang lahir dari proses pengkaderan akan mengambil kebijakan sesuai aspirasi rakyat. Kalaupun ada lobi-lobi politik akan dilakukan dengan cara santun dan beradab. Bukan dengan jalan pintas melalui kekuatan uang. Kehidupan bernegara akan berlangsung sehat sesuai konsep “the great political thingkers”. Semua anggota masyarakat bisa berperan aktif dalam setiap proses politik dan kebijakan publik.



Erwin Dariyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar