Beranda

Jumat, 12 Desember 2014

Apa Arti Sukses Menurut Anda?




Materi Khotbah Jumat tadi tentang 'Arti Sukses' rupanya memantik Simbah untuk membahasnya sesampai di rumah. Sambil bersantap siang di teras, Simbah dan Pakdhe berdiskusi soal 'Arti Sukses'.

Setiap orang menurut Simbah memiliki tolak ukur yang berbeda-beda dalam mengartikan kata sukses. Seorang pedagang jamu yang berhasil menyekolahkan anaknya hingga meraih gelar sarjana misalnya bisa disebut sukses.

“Pedagang jamu itu sukses mengantar anaknya hingga ke jenjang pendidikan tinggi,” kata Simbah.

Ada juga seorang pedagang makanan yang merasa sukses setelah berhasil mencapai omset Rp 1 juta per hari, dan memiliki beberapa cabang. Atau seorang pengojek yang bisa mendapatkan penghasilan Rp 100 ribu per hari juga sudah merasa sukses.

“Jadi ukuran sukses bagi setiap orang itu berbeda-beda,” kata Simbah.

Rabu, 10 Desember 2014

Ketika Simbah Terkena Dampak Tsunami Media Digital







Gerimis turun selepas Shubuh di kawasan Karangkadempel pagi itu. Sebagian Jamaah meninggalkan Masjid Al Istiqomah dan langsung menuju rumah. Termasuk Pakdhe dan Simbah.

Pakdhe menggandeng Simbah menaiki tiga undakan tangga menuju teras rumah untuk kemudian duduk di kursi persis di balik kamar saya. Setelah posisi duduk Simbah sudah tepat, Pakdhe bersiap masuk ke dalam rumah.

Namun langkah Pakdhe tertahan saat Simbah bertanya,”Kalau semua orang sekarang baca Media Online, siapa yang mau beli koran dan majalah cetak?.

Padhe mengambil posisi duduk persis di depan Simbah. Tasbih dan sajadah dia taruh di lengan kursi. “Pembaca setia koran masih tetap ada Mbah. Barangkali memang usia pembaca Koran dan majalah cetak adalah kalangan yang tak lagi muda,” Pakdhe coba menjawab pertanyaan Simbah.

Menurut Pakdhe karakter pembaca Koran berbeda dengan media online. Pembaca Koran ingin membaca sebuah informasi yang lengkap, utuh dan tidak terpotong-potong seperti di media online. Terkadang mereka juga ingin membaca kolom atau analisis dari pakar yang sering ditampilkan di Koran.

Begitu juga pembaca majalah yang biasanya terbit seminggu sekali. Pembaca majalah mingguan tak sekadar berharap memperoleh informasi, mereka juga ingin mendapatkan hiburan dari membaca sebuah artikel.

“Kalau sudah membaca di internet lalu buat apa baca lagi Koran dan majalah,” tanya Simbah sambil menyalakan sebatang rokok kretek.

Tak mau kalah, pakdhe kemudian mengambil sebuah rokok filter dari saku celana pendek  kemudian dia nyalakan. Wushhhhhh… asap mengepul menerobos lewat celah jemari membumbung ke plafon setelah lebih dulu melintasi hidung, kepala kemudian rambut Pakdhe.

Selasa, 09 Desember 2014

Simbah dan Tantangan Media Online





“Media Online ini sukanya merusak tata bahasa,”. Kata Simbah yang duduk menikmati secangkir kopi di teras rumah sambil 'memainkan' komputer tablet hadiah sang menantu awal Desember lalu.

Jemari tangannya mengusap layar tablet yang bertumpu pada punggung paha kakinya dan berhenti ketika ada berita yang menurut dia menarik. Sudah dua bulan di rumah tak lagi langganan koran cetak, ataupun majalah.

Sebagai gantinya Simbah mengisi pagi harinya dengan membaca berita di media Online melalui iPad atau Tablet yang dipinjam dari Pakdhe atau Budhe. Sejak era digitalisasi informasi, Pakdhe mulai tak langganan koran dan media cetak lainnya.

Maklum dia manusia super sibuk dengan segudang aktivitas sehingga gak sempat baca koran. Sebagai gantinya dia selalu mengupdate informasi dari media online. Kebiasaan itu dia tularkan ke Simbah yang kini mengancik usia 73 tahun.

Sebagai penikmat berita dan penyuka sastra Simbah mengaku tak nyaman membaca berita Media Online.

Rabu, 19 November 2014

Mengapa Ada Demo BBM Ayah?



Demo menolak kenaikan harga BBM di Cikini (Foto-detikcom)
Bila Jokowi ada diplomasi di meja makan, aku pun juga melakukannya. Hanya bedanya aku lakukan itu di meja makan saat bersantap sarapan, dan seringnya untuk 'merayu' istri atau anakku, Najma.

Mengapa diplomasi sarapan?. Jawabannya sederhana, ya karena kami bisa punya waktu lebih selain hari libur adalah saat jam makan pagi alias sarapan.

Di meja makan saat sarapan itulah saya mencoba melakukan 'diplomasi' yang terkadang ngalor ngidul tanpa arah. Yaah.. paling tidak aku bisa merasa lebih dekat dengan mereka.

Selasa, 18 November 2014

Ketika si Anak 'Manusia Gerobak' Ulang Tahun




Hingga kini aku tetap tak habis pikir, restoran cepat saji seperti McD dan KFC selalu ramai oleh pengunjung. Rata-rata yang jajan adalah anak-anak, beberapa juga ada remaja dan segelintir yang berusia menjelang tua.

Sabtu (15/11/2014) malam lalu misalnya, bersama istri dan anakku aku mampir di sebuah restoran cepat saji di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Dan seperti biasa pembeli harus antre beberapa meter di'warung saji' ini sebelum bersantap.

Senin, 17 November 2014

Tentang Ayah


Sekian lama sudah blog ini tak saya isi. Hari ini tiba-tiba saya berniat mengisi karena terusik oleh artikel  Tentang Ayah yang ditulis oleh seorang kawan.

*****



Suasana lebaran masih terasa di Desa Sumberagung, Celep, Nguter, Sukoharjo pada Jumat petang, 1 Agustus 2014.  Menjelang Isya itu aku sendirian ke rumah masa kecilku.  Aku, Bapak dan Ibu hanya bertiga ngobrol ngalur ngidul.

Sampai saat jarum jam hendak menyentuh angka sembilan, aku minta izin Sholat Isya di kamar Bapak. Usai Sholat aku tiduran di ranjang sambil membaca sebuah buku Mahabarata yang sepertinya belum selesai dibaca Bapak.

Tak terasa aku tertidur, hingga terbangun menjelang jam 11 malam ketika terdengar suara langkah kaki menjauh dari kamar. Rupanya Bapak baru saja masuk ke kamar, menyelimuti sebagian tubuhku agar tak kedinginan. Maklum udara kampungku yang tak jauh dari kaki Gunung Lawu cukup dingin di malam hari.

Rupanya bapak tak ingin anaknya yang bandel di waktu kecil ini kedinginan sehingga perlu memberikan selimut.

Saat aku sibak selimut terlihat bercak darah di bagian lutut. Darah dari nyamuk yang mungkin hinggap dan mengigit saat aku terlelap. Tak hanya di kaki, di dinding kamar ada beberapa bercak darah nyamuk.


Bapak tak mau putranya yang tak lagi bocah ini menderita, merasakan sakit meski hanya oleh gigitan seekor nyamuk sekalipun.

Di luar kamar aku lihat, Bapak hendak berniat tidur di atas Sofa ruang tamu. Sementara Ibu sudah lebih dulu terlelap di atas karpet persis di depan Televisi.

Demi seorang putra yang entah berapa kali telah menyakiti dan mengecewakannya, Bapak tetap memperlakukan aku seperti seorang bocah. Perlu diselimuti agar tak kedinginan,  dijaga agar tak ada satupun nyamuk yang menghisap darahku.