Beranda

Senin, 27 Agustus 2012

Pesan Berahi dalam Gending Kutut Manggung


Foto by: www.gradesaver.com


Kutut Manggung. Pertama kali mendengar tembang itu saat umur saya masih sekitar 7 tahun. Bapak biasa melantunkan syair itu saat meninabobokan adik saya yang nomor 3 dan 4. Saat rewel, Bapak mengambil adik saya dari ayunan yang terbuat dari kain gendong. Caranya persis seperti mbok emban dalam serial ketoprak. Sambil mengayun-ayunkan bayi mungil di tangan, Bapak biasa nembang jawa.

Mulai dari tak lelo-lelo ledhung, putro nuswantoro, sampai kutut manggung. Biasanya dalam tiga atau empat lagu, si jabang bayi bisa terlelap. Saya dan mungkin juga Bapak tak perna terpikir untuk mencari makna dari setiap syarir yang dilantunkan. Baru akhir-akhir ini saya mencoba peduli dan mencari maksud tersirat dalam setiap lagu tersebut.

Tak banyak literatur yang mengulas makna dari tembang jawa tersebut. Bahkan nyaris tidak ada.
Khususnya tembang Kutut Manggung. Beruntung saya akhirnya menemukan sedikit gambaran tentang lagu yang sempat dipopulerkan oleh Nyi Tjondro Lukito tersebut. Adalah Ahmad Thohari yang sedikit menukilkannya dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, di buku ketiga. Menurut beliau, lagu Kutut Manggung adalah sebuah langen swara berahi yang digubah demikian halus. Penuh selera
estetik dan jelas sekali lahir dari wawasan tentang kehidupan yang mendasar.

Kutut manggung adalah penghayatan atas naluri keprimitifan berahi dalam tertib nilai tertentu yang membedakan berahi manusia dan berahi primata semacam kera. Dia bertanggung jawab dan memiliki arah yang pasti yakni garis perhubungan antara manusia dan selera Penguasa Alam. Dia halus sehingga hanya orang dewasa tertentu bisa mengerti apa yang dimaksud wis wayahe lingsir wengi, perkutute arsa muni atau perkutute njaluk
ngombe.

Kutut manggung adalah pelukisan hasrat perhubungan ragawi antara lelaki dan perempuan dalam
wawasan tertib kosmik; bahwa si lelaki dan si perempuan adalah suami-istri, dan bahwa motivasi
perhubungan ragawi itu adalah upaya mencapai tata-raharjaning bangsa manusia yakni keselarasan hidup.

Namun wawasan berahi kutut manggung juga memberi tempat kepada aspek 'humaniora', sehingga meski kudus dan sakral maka perhubungan berahi yang tertib itu masih juga mengandung kadar kegenitan. Maka ada anggunge memanas ati, yakni pergombalan yang merangsang hati.

Juga dalam senggakan kutut manggung ada warna kemesraan, namun dalam gaya euphemisme sehingga wilayah kecabulan tak perlu terjamah.
ngan yang telah meluluhkan martabat kemanusiaannya.



Ini Lirik lengkapnya:

Wayahe wus…lingsir…wengi…i…i…i…
Perku…tute…e…e…, roso…o…o…o…
MUni…i…i…i…, ning plang…a…a…a…
Kringa…a…a…an…,
anggung nyo ma…a…a…a..na..a..as…A…a…ti…
Hur ketekung…ku..ng…ku…ng….
Hur ketekung…ku..ng…ku..u.u…ng….
Monggo monggo monggo…,monggo monggo…
Monggo, monggo alah monggo monggo
Nggo monggo monggo, monggo..o…
Midanget eng…kang…saa.a.a.ke..e…co…
Pramito…kang mi…i…nulyo…o…o…
Sugeng rawuhipun…,”

Sore-sore…, yo lah bapak
Perkutute njaluk ngombe…
Yo bapak, bapakku de..we…
Ombe..en mben omben, omben omben omben…
Mben omben, mben omben omben omben…
Ombenono e…manuke kutut…
Atak omben, omben omben ombenono..
Satitik banyune.. to…wo…
Gones luwes sak sola…he…
Paka…a…an….no…no…
Tak pakan tak pakan pakan paka..an
Atak pakan pakan pakan, pakan pakano..no…
E..manuke kutut, atak pakan pakan pakan pakanono
Setitik berase…ce…mpo…,gones gones wicarane..
Trahing noto…, trahi..ng…no…to…
Yo bapak, bapakku de…we…
Trahing noto…risang…danang joyo
Mulo pancen kewek-kewek dewe
Mulo pancen kewek-kewek dewe
Den prayitno sabarang hayuo se…mbrono…
Aduh..to lae wo..ng bagu…s,
Yen tan weruh…
Yo lah bapak, perkutute manas manas a…a…ti…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar