Beranda

Sabtu, 04 Agustus 2012

Rokok dan Fatwa Haram Penukaran Uang





Ini dialog imajiner. Muncul saat ada fatwa oleh segolongan ulama yang mengharamkan penukaran uang receh di jalanan. Dialog terjadi di padukuhan Sumber Agung nun jauh di pelosok pinggiran kota Bengawan. Antara Kiai Mangun dengan Erwin, sepuluh tahun yang lalu. Kiai Mangun adalah salah satu tokoh ulama terpandang di desa berpenduduk 120 keluarga itu. Dia juga merupakan salah satu tokoh organisasi keagamaan di Jawa.


Erwin : Kiai, nuwun sewu, saya dengar ulama mengharamkan penukaran uang receh di pinggir jalan? Ini apa dasar hukumnya kiai?

Kiai Mangun : Itu sama dengan riba, termasuk kegiatan jual-beli uang yang diharamkan oleh Islam.

Erwin: : Sebentar kiai, unsur ribanya di mana?

-- rokok filter bermerk Minak Jinggo (saya gak tau apa saat ini masih ada merek rokok ini) di bibir Kiai Mangun dinyalakan lagi setelah sempat mati. Entah sudah berapa batang rokok dia habiskan. Yang pasti asbak dari klobot atau kulit jagung di depannya sudah penuh abu--

Kiai Mangun : Begini nak, penukaran uang receh termasuk riba, karena misalnya satu lembar pecahan sepuluh ribu ditukar hanya dengan sembilan lembar pecahan seribu, atau sembilan ribu rupiah. Transaksi penukaran uang receh dalam mata uang Rupiah tidak bisa dipersamakan dengan transaksi penukaran uang ke dalam mata uang negara lain.


Erwin : Tapi kiai, misalnya begini kiai. Saya tidak sempat menukar uang receh ke Bank Indonesia. Kemudian saya menukar ke orang yang menjajakan di pinggir jalan. Saya tidak menganggap bahwa selisih seribu atau dua ribu ini sebagai bunga. Tapi jasa dia yang telah antri di Bank Indonesia. Selisih itu bukan saya memberi bunga, tapi imbalan atas jasanya. Tentunya untuk sampai di Sumber Agung, si pedagang uang ini harus mengeluarkan ongkos karena rumahnya di Solo.

Kiai Mangun : Prinsip adalam Islam jelas, jual beli uang itu haram.

Erwin : Baik Pak Kiai, haruskan saya sebagai umat mematuhi seandainya para ulama mengelurakan fatwa mengharamkan penukaran uang receh di jalan menjelang lebaran?

Kiai Mangun : Jelas sebagai umat diperintahkan untuk mematuhi Ulil amri, pemimpin. Dan pemimpin agama adalah ulama.

Erwin : Maaf kiai, apa dasarnya seseorang ditunjuk sebagai ulama? Karena ilmu, ketokohan atau keturunan?

Kiai Mangun : Ketiga-tiganya bisa. Tapi yang jelas karena dia mempunyai ilmu linuwih.

Erwin : Kiai, saya bukan ahli agama. Bolehkah saya mengeluarkan fatwa?

Kiai Mangun : Boleh, tapi siapa yang mau nurut fatwamu, karena kamu bukan ulama dan tidak tercantum dalam organisasi resmi.

Erwin : Wah itu artinya tidak fair dong. Begini saja kiai, bagaimana saya harus mematuhi para Kiai, sementara ada perilakunya yang menurut saya justru haram.

Kiai Mangun : Lho apa itu?

Erwin : Ngerokok. Saya bukan ulama, kiai atau tokoh agama. Tapi saya mengharamkan rokok. Alasannya jelas, Rasul tak pernah merokok. Kandungan dalam rokok jelas merusak organ tubuh, mendatangkan penyakit. Artinya kita manusia tidak mensyukuri nikmat sehat dari Allah. Tidak mensyukuri organ paru-paru yang dikaruniakan Allah, tapi justru merusak. Kita tidak amanah Kiai. Dan itu berarti haram.

Kiai Manung, tertawa. Tawa seorang yang merasa linuwih. Karena memang selain sudah berusia lanjut, suaranya banyak didengar oleh masyarakat. Sementara saya baru tamat SMA.

Kiai Mangun : Hah, tau apa kamu soal agama. Sudah sana belajar nyantri dulu. Biar makin taat agama.

Erwin : Lho tapi kita sebagai umat diberi kesempatan untuk Ijtihad. ---usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang--

Kiai Mangun : Bahaya kalau ijtihad dilakukan oleh orang yang tak berilmu Nak..

--obrolan kami terputus. Suara adzan maghrib memanggil--

Selamat malam ki Sanak--

Selamat berakhir pekan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar