Beranda

Rabu, 10 Desember 2014

Ketika Simbah Terkena Dampak Tsunami Media Digital







Gerimis turun selepas Shubuh di kawasan Karangkadempel pagi itu. Sebagian Jamaah meninggalkan Masjid Al Istiqomah dan langsung menuju rumah. Termasuk Pakdhe dan Simbah.

Pakdhe menggandeng Simbah menaiki tiga undakan tangga menuju teras rumah untuk kemudian duduk di kursi persis di balik kamar saya. Setelah posisi duduk Simbah sudah tepat, Pakdhe bersiap masuk ke dalam rumah.

Namun langkah Pakdhe tertahan saat Simbah bertanya,”Kalau semua orang sekarang baca Media Online, siapa yang mau beli koran dan majalah cetak?.

Padhe mengambil posisi duduk persis di depan Simbah. Tasbih dan sajadah dia taruh di lengan kursi. “Pembaca setia koran masih tetap ada Mbah. Barangkali memang usia pembaca Koran dan majalah cetak adalah kalangan yang tak lagi muda,” Pakdhe coba menjawab pertanyaan Simbah.

Menurut Pakdhe karakter pembaca Koran berbeda dengan media online. Pembaca Koran ingin membaca sebuah informasi yang lengkap, utuh dan tidak terpotong-potong seperti di media online. Terkadang mereka juga ingin membaca kolom atau analisis dari pakar yang sering ditampilkan di Koran.

Begitu juga pembaca majalah yang biasanya terbit seminggu sekali. Pembaca majalah mingguan tak sekadar berharap memperoleh informasi, mereka juga ingin mendapatkan hiburan dari membaca sebuah artikel.

“Kalau sudah membaca di internet lalu buat apa baca lagi Koran dan majalah,” tanya Simbah sambil menyalakan sebatang rokok kretek.

Tak mau kalah, pakdhe kemudian mengambil sebuah rokok filter dari saku celana pendek  kemudian dia nyalakan. Wushhhhhh… asap mengepul menerobos lewat celah jemari membumbung ke plafon setelah lebih dulu melintasi hidung, kepala kemudian rambut Pakdhe.


“Nah di situlah makanya jurnalis Koran dan majalah dituntut menyajikan berita yang lebih maju dari media online dan meramunya menjadi sebuah artikel menarik untuk dibaca,” kata Pakdhe.

Dia kemudian mengutip kuliah Twitter dari jurnalis Tempo @hidayatbagdja tentang strategi media cetak menghadapi media online. Cieeee….

Jangan salah, meski usia sudah hampir mengancik setengah abad namun Pakdhe termasuk generasi gaul alias melek media sosial. Punya akun Twitter, Instagram bahkan Path.

Nah dari yang dia ikuti di kultwit tersebut menurut pakdhe wartawan di media online, Koran dan majalah memiliki satu kiat khusus untuk membuat sebuah peristiwa tetap menarik dan perlu dibaca, yakni angle.  
“Angle inilah yang menentukan jenis berita di online, Koran dan majalah. Wartawan harus pandai memilih angle,” kata Pakdhe.

Sebuah peristiwa penting yang terjadi hari ini tentu sudah habis ditayangkan oleh media online, televisi dan radio. Nah Koran yang baru terbit keesokan harinya harus menampilkan berita dengan angle berbeda dari media online.

Begitu juga majalah yang baru terbit satu pekan setelahnya juga harus memilih angle berbeda dengan koran dan majalah. Mereka harus menerapkan teknik pengawetan info melalui pemilihan angle yang tepat.

“Kalau tidak cerdas memilih angle, koran dan majalah hanya akan menyajikan berita basi. Orang pun malas membaca koran atau majalah,” kata Pakdhe.

Simbah hanya manggut-manggut mendengar penjelasan dari Pakdhe. Mbah Putri keluar dari dalam rumah membawa dua cangkir teh poci, dan beberapa potong rebusan untuk sarapan.

“Saya cari koran satu lembar saja untuk alas gorengan dari kemarin kok susah banget, pada kemana Koran itu,” tanya Simbah Putri.        

 “Walah zaman sekarang, cari Koran kok ya hanya pas butuh alas gorengan, bungkus kacang. Terus gimana nasib media cetak nantinya?,” tanya Simbah.

Pakdhe tak langsung menjawab karena izin mau mandi dan bersiap ke kantor. Aku pun mematikan laptop, menyimpan catatan tentang dialog Pakdhe dan Simbah tadi.

“Koran…koran…koran,” teriak Mang Sodik yang menjajakan Koran di komplek rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar