Beranda

Rabu, 17 Oktober 2012

Tak Ada Mantan Anak dan Mantan Orang Tua

Saya juga menemukan sebuah artikel soal keluarga yang ditulis oleh Reza Indragiri Amriel.  Artikel ini saya kutip dari Tempo Interaktif, tanpa saya ubah redaksionalnya.

 

Tak Ada Mantan Anak dan Mantan Orang Tua

Kamis, 30 Juni 2011 | 11:07 WIB

Foto by Femina

TEMPO.CO, Jakarta -Bagi komunitas muslim di Indonesia, perceraian dan hak asuh ditangani oleh pengadilan agama. Hakim pengadilan agama menghadapi kendala membuat putusan yang selaras dengan prinsip kepentingan terbaik anak, khususnya terkait dengan legislasi dan mekanisme yang digunakan dalam menyikapi masalah hak asuh ini.

Umumnya putusan hakim tentang hak asuh memuat dua legislasi: Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). Filosofi KHI adalah maternal preference, mengatur bahwa anak (korban perceraian) yang belum mumayiz berada di bawah penguasaan ibunya. Mumayiz berbeda dengan akil balig. Akil balig merujuk pada dimensi fisik, yakni kematangan--antara lain--organ seksual yang menjadi pembeda antara usia kanak-kanak dan usia pasca-kanak-kanak.


Mumayiz menyangkut kematangan psikologis anak (usia mental), yakni kemampuan anak dalam membedakan baik dan buruk, benar dan salah, dan sejenisnya. Tuntutan bagi hakim memahami psikologi perkembangan anak, yang jauh lebih pelik ketimbang memahami kondisi akil balig, menjadi mutlak. Namun, karena tidak mudah, hakim cenderung by default menjadikan ibu sebagai pemegang hak asuh atas anak--di sini anak sebatas ditimbang berdasarkan usia biologisnya.

Menjadikan KHI sebagai pedoman kerja, hakim semakin mudah menjatuhkan putusan hak asuh hanya ke salah satu pihak (sole custody) yang bercerai, dan pihak tersebut biasanya adalah ibu.

Kontras dan UUPA tidak menaruh preferensi (keberpihakan) kepada gender tertentu. UUPA menyebut hak anak untuk diasuh oleh kedua orang tuanya. Dengan demikian, apabila hakim benar-benar konsekuen menjadikan UUPA sebagai legislasi, hakim sepatutnya lebih mantap membuat putusan bahwa anak tetap diasuh kedua orang tuanya (joint/shared custody).

Dituangkan dalam putusan, karena KHI "lebih memudahkan" hakim, UUPA pun menjadi instrumen normatif yang tidak aplikatif. Hak asuh tetap jauh lebih banyak diputuskan sebagai sesuatu yang bersifat tunggal, yaitu dipegang oleh salah satu pihak yang bercerai.

Sekarang tengok dua poin putusan majelis hakim di salah satu kantor pengadilan agama di wilayah DKI Jakarta berikut ini. KHI dan UUPA juga tercantum sebagai dasar-dasar putusan hakim. Pertama, "(Majelis hakim) menetapkan dua orang anak penggugat konvensi (istri) dan tergugat konvensi (suami), masing-masing bernama: ? berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan penggugat konvensi (istri, ibu kedua anak tersebut)." Kedua, "Memerintahkan kepada penggugat konvensi memberikan hak tergugat konvensi untuk menyalurkan kasih sayangnya terhadap anak-anak tersebut tanpa batas waktu."

Poin pertama putusan menunjukkan penetapan hak asuh tunggal bagi ibu. Tapi, karena poin kedua memuat "tergugat konvensi? menyalurkan kasih sayang? tanpa batas waktu", justru dapat ditafsirkan pihak ayah juga mempunyai hak asuh atas kedua anaknya tersebut. Dengan kata lain, ketika poin pertama digandeng dengan poin kedua, justru implisit terkandung putusan bahwa hak asuh atas anak dimiliki bersama (joint custody), bukan oleh salah satu pihak saja.

Isi putusan di atas mengindikasikan kegamangan hakim. Sangat mungkin persidangan pada dasarnya meyakinkan hakim bahwa ayah adalah pihak yang sesungguhnya paling pantas--atau setidaknya setara dengan ibu--dalam mengasuh anak. Namun, karena KHI berlandaskan maternal preference, dan hakim tidak cukup percaya diri menyandarkan diri pada UUPA yang spiritnya adalah pengasuhan bersama, hakim membuat putusan "kompromistis". Putusan seperti itu berpeluang membuka konflik susulan, karena pihak ibu bisa memakai poin pertama guna mempertahankan hak asuh atas anak, sedangkan pihak ayah dapat "menguasai" anak dengan berlandaskan kondisi "tanpa batas waktu". Ketika salah satu pihak kemudian menyumbat akses mantan pasangannya bertemu dan mencurahkan cintanya kepada anak-anak, bagaimana lembaga peradilan menyikapinya?

Hingga saat ini, lembaga peradilan agama tampak berlepas tangan manakala masalah hak asuh tidak dieksekusi sebagaimana tercantum dalam putusan hakim. Rebutan anak tetap berlangsung, sebagai tanda gagalnya peradilan melindungi prinsip kepentingan terbaik anak.

Beberapa usulan berikut ini dapat dipertimbangkan agar akses anak-orang tua tetap terbuka. Pertama, walaupun hak asuh adalah perkara perdata, ketika akses anak untuk bertemu dengan orang tua ditutup oleh orang tua pemegang hak asuh, perlu dicari mekanisme agar situasi kemudian dapat digeser ataupun dikembangkan menjadi pidana. Pemutusan hubungan antara anak dan orang tuanya, bagi saya, merupakan kekerasan sekaligus penelantaran.

Kedua, jika penutupan akses tersebut berlangsung, dan ini berarti salah satu pihak telah bertindak menyimpang dari putusan hakim, pengadilan agama dapat menyatakan pihak tersebut telah melakukan indirect civil contempt of court. Di sini mekanisme baru dirancang agar sanksi tertentu dijatuhkan sebagai upaya paksa agar pihak-pihak yang bercerai memenuhi kewajiban seperti yang telah diputuskan hakim demi terealisasinya kepentingan terbaik anak.

Ketiga, perlu dibentuk mekanisme pemantauan agar penutupan akses anak-orang tua tetap terbuka. Sebagai tambahan bagi mediasi, peradilan agama dapat pula berinisiatif mengenakan keharusan kepada masing-masing orang tua menyampaikan laporan berkala perihal pelaksanaan hak asuh setelah berakhirnya persidangan. Dengan cara ini, orang tua akan terdorong untuk dapat tetap seoptimal mungkin menjalankan peran pengasuhan sesuai dengan putusan hakim atau bahkan dengan cara yang lebih baik lagi sesuai dengan perkembangan di luar persidangan. Orang tua yang merasa telah dihalang-halangi oleh mantan pasangan untuk bertemu dengan anak juga dapat memanfaatkan pendekatan ini sebagai mekanisme pengaduan.

Peran pemantauan tersebut dapat dilaksanakan oleh lembaga-lembaga perlindungan anak. Lembaga itu pula yang dapat merekomendasikan otoritas peradilan untuk mengambil langkah hukum yang lebih tegas manakala terlihat bahwa penutupan akses telah berlangsung.

* Reza Indragiri Amriel, Dosen psikologi forensik Universitas Bina Nusantara, Jakarta


link: http://www.tempo.co/read/kolom/2011/06/30/404/Tak-Ada-Mantan-Anak-dan-Mantan-Orang-Tua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar