Beranda

Jumat, 03 Juni 2016

Anak Gembala yang Hilang


Foto by gusalit2004


Lantunan gending Kutut Manggung mengalun dari kamar Simbah. Di rumah kami, suaranya gending yang populer setelah dibawakan maestro keroncong Waldjinah itu hampir beradu keras dengan alunan ayat suci dari Masjid.



Petang itu selepas Salat Magrib, Simbah nglaras di teras rumah seperti kebiasaannya waktu dulu di kampung. Bedanya dulu di kampung dalam sehari Simbah bisa dua kali nglaras; yakni selepas makan siang dan menjelang Isya.

Kini meski tinggal di pinggiran Jakarta yang tak jauh beda dengan suasana kampung, Simbah hanya bisa sekali nglaras. Itu pun belum tentu sehari sekali. Banyak waktunya tersita untuk momong buyut atau berdiskusi dengan anak-anaknya.


Di sela nglaras mat-matan, Pak Dhe keluar dari rumah membawa sebuah nampan berisi teh nasgitel, jenang jawa, tembakau, cengkeh dan sigaret terbuat dari kulit jagung (klobot) oleh-oleh Simbah dari kampung.

"Kutut manggung adalah pelukisan hasrat perhubungan ragawi antara lelaki dan perempuan dalam wawasan tertib kosmik; bahwa si lelaki dan si perempuan adalah suami-istri, dan bahwa motivasi perhubungan ragawi itu adalah upaya mencapai tata-raharjaning bangsa manusia yakni keselarasan hidup.  Namun wawasan berahi kutut manggung juga memberi tempat kepada aspek 'humaniora', sehingga meski kudus dan sakral maka perhubungan berahi yang tertib itu masih juga mengandung kadar kegenitan. Maka ada anggunge memanas ati, yakni pergombalan yang merangsang hati. Juga dalam senggakan kutut manggung ada warna kemesraan, namun dalam gaya euphemisme sehingga wilayah kecabulan tak perlu terjamah.
ngan yang telah meluluhkan martabat kemanusiaannya," kata Simbah mengutip sebuah artikel tentang makna tembang Kutut Manggung yang dia baca lewat komputer tablet saat Pak Dhe meletakkan satu per satu sajian dari nampan.

"Pujangga dulu memang piawai meracik pesan dalam sebuah sasmita Mbah," Pak Dhe menyaut perkataan Simbah lalu duduk di kursi berbahan menjalin yang sengah ditaruh di teras rumah.


Tiba-tiba Simbah membahas perbedaan suasana kampung sebelum tahun 1970 dengan saat ini saat kemarin dia pulang usai umrah. Kampung tempat lahir Simbah kini telah berubah.

Rekan seangkatannya sudah banyak yang berpulang, hanya beberapa tersisa dan itu pun ingatannya tak lagi tajam. Namun bukan itu semata yang membuatnya sedih. Perubahan kampung yang dulu alami dan kini menjadi kawasan industri lah yang membuat Simbah sedih.

Saat pulang kampung usai umrah kemarin, Simbah tak lagi merasakan suasana pedesaan sebagaimana masa mudanya dulu di tahun 1970 hingga 1990-an. Dulu desanya begitu sejuk, teduh dan hijau. Pagi hari usai salat Subuh, warga kampung yang kebanyakan berprofesi sebagai petani berduyun-duyun ke sawah. Yang perempuan menggendong bakul, bapak-bapaknya memanggul cangkul.

Tak jarang di hari Minggu atau libur turut juga ke sawah anak-anak mereka. Suasana persawahan pun begitu hidup dengan suara candaan petani yang saling bersahutan, lenguhan kerbau yang digunakan membajak sawah atau anak-anak yang kejar-kejaran di pematang sawah.

Menjelang tengah hari para petani itu pulang ke rumah untuk istirahat dan bersantap siang. Usai bersantap siang itulah Simbah biasanya nglaras di bawah pohon mangga sambil membawa radio tua kelangenannya. Lantunan gending-gending anggitan ki Narto Sabdo selalu dia putar. Bahkan terkadang sampai dia tertidur.

Lepas tengah hari atau sekitar pukul 02.00 siang, Simbah dan warga petani kampung kembali ke sawah. Di hari biasa, anak-anak sepulang sekolah juga turut ke sawah untuk menggembala ternak, seperti: sapi, kerbau dan kambing.  "Kamu dulu kan sepulang sekolah juga begitu. Angon (menggembala) kerbau, pulang-pulang menjelang Maghrib," kata Simbah. 

Beberapa anak itu memanfaatkan waktu menggembala sambil belajar. Ternak dilepaskan di tanah lapang dengan rumput hijau dan mereka nunggu di gubuk-gubuk sambil membaca buku. Kadang ketika lapar mendera, mereka mencabut singkong milik tetangga untuk dibakar. Di kampung Simbah, para petani umumnya baik-baik. Mereka tak marah kalau hanya singkong atau jagung yang diambil untuk dibakar.

Anak-anak gembala itu baru akan pulang ketika matahari mulai condong ke barat. Sebelum pulang, mereka mandi bersama di sebuah kali di pinggir kampung. Berenang ke sana  ke mari sambil bercanda. "Masa kecil yang sederhana namun indah," kenang Pak Dhe.

Kemarin saat Simbah pulang, tak lagi ada anak gembala itu. Kampung Simbah kini berubah menjadi kawasan industri. Ribuan hektare tanah petani telah dibeli pengusaha besar untuk mendirikan pabrik-pabrik.

Tak ada lagi petani yang setiap hari wira-wiri ke sawah, juga anak gembala yang menggiring ternak dan mandi di kali. Anak-anak di kampung tak lagi mau menggembala ternak. Selain itu memang tak banyak lagi lahan luas yang menyediakan rumput ilalang untuk makan ternak.

"Anak gembala yang hilang," kenang Simbah.

Pak Dhe adalah salah satu anak gembala yang hilang keran kini telah menjadi salah satu direksi di sebuah perusahaan BUMN.

Kumandang Adzan Isya menghentikan obrolan Simbah dan Pak Dhe. Mereka mengambil air wudhu lalu pergi ke langgar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar