Beranda

Rabu, 04 Agustus 2010

Politik Kartel dan Dinasty.

Politik kartel atau dinasty? Pertanyaan itu mengemuka dalam diskusi yang digelar 15 Oktober 2009 lalu oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), di Jalan Sawo, No.11, Menteng, Jakarta Pusat.

Sahdan itu hanya satu pengantar untuk saya menulis.
Menjelang konggres sebuah partai terbesar di Indonesia kebetulan saya ngobrol dengan salah satu pengurus pusat. Muda, dan juga pengusaha. Dia menantu dari salah satu Ketua di partai yang sama.

Kami menyoroti salah satu calon ketua umum yang akan bertarung pada Musyawarah Nasional. Dia adalah salah satu pengurus pusat partai itu juga. Usaianya masih muda.

Yang menarik, dia berani bersaing dengan tokoh-tokoh senior yang semuanya dari kalangan pengusaha. Sementara dia disamping junior, juga modalnya tidak sebesar sang pesaing. Muncul dugaan dia dibiayai oleh pengusaha di kawasan Menteng.

Sehingga, si politikus muda lawan bicara saya pesimis. “Dia itu tak punya duwit. Kecil lah harapannya,” kata politikus yang awalnya adalah teknokrat ini.

Duwit, ya. Karena untuk operasional partai yang sudah separuh abad mendapat predikat terbesar ini ditanggung oleh sang ketua umum. Tak tanggung-tanggung dalam satu tahun butuh Rp 5 miliar. Dan itu ditanggung oleh si Ketua Umum.

Agar roda partai tetap berjalan, ada dua alternatif yang bisa dilakukan. Ketua partai adalah seorang pengusaha atau menduduki posisi penting: Ketua DPR, Presiden atau Wakil Presiden.

Apa hubunganya? Mudah-mudahan Anda bisa menterjemahkannya.

Secara kebetulan memang selama ini Ketua umum partai memang menduduki posisi penting, atau pengusaha. Sebut saja mantan ketua umum partai golkar, Akbar Tandjung yang juga ketua DPR. Ketua Umum partai golkar, Jusuf Kalla, pengusaha dan wakil presiden. Dan sekarang Ketua umum partai beringin dijabat oleh Aburizal Bakrie, pengusaha yang juga salah satu orang terkaya di Indonesia.

Kemudian Soetrisno Bachir, mantan Ketua Umum PAN juga seorang pengusaha. Kini partai ini dipimpin oleh Hatta radjasa, menteri koordinator perekonomian.

Pengalaman buruk dialami oleh PDI Perjuangan. Karena gengsinya, periode 2004 – 2009 dia mengambil posisi sebagai oposisi. Tak mendapat posisi penting. Penguruspun, sedikit yang dari kalangan pengusaha. Tak bisa dielakkan, perolehan suaranya pada pemilu 2009 merosot.
Sudah menjadi rahasia umum, khususnya gedung dpr ada istilah “bagi-bagi kue”. Istilah untuk menyebut bagi-bagi jabatan: Ketua komisi, ketua panitia anggaran, ketua panitia khusus, ketua dan wakil ketua dpr.

Di eksekutif. Bagi-bagai posisi menteri. Partai berebut menyorongkan kadernya. Terjadi proses negosiasi kekuasaan disini.

Belakangan, terjadi perkawinan antara politikus dan pengusaha. Sejumlah politikus berusaha memasang kandidatnya di organisasi-organisasi bisnis.

Tak puas dengan posisisnya sebagai politikus, tak jarang yang menyiapkan keluarganya. Anak, keponakan, istri, cucu, menantu dan sebagainya. Ini terjadi dari level presiden sampai kepala daerah. Alasannya, “semua warga negara berhak ikut serta dalam berpolitik,”.

Salam

Ki Senen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar