Link dari artikel ini bisa dikunjungi di http://de.tk/DLFP5
Revolusi Sunyi Anas Urbaningrum
Selama kurang lebih satu tahun Partai Demokrat menjadi sorotan. Bukan karena prestasi melainkan dugaan keterlibatan sejumlah kadernya dalam kasus tindak pidana korupsi. Kasus bermula dari terungkapnya skandal korupsi proyek pembangunan pusat pelatihan olahraga Hambalang yang menyeret sang Bendahara Umum Partai, Muhammad Nazaruddin. Dari pengakuan Nazar inilah kemudian terungkap rentetan kasus rasuah yang diduga melibatkan beberapa petinggi Partai Demokrat. Komisi Pemberantasan Korupsi telah meminta keterangan dari Andi Mallarangeng, Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat, yang juga Menteri Pemuda dan Olahraga.
Angelina Sondakh, Wakil Sekretaris Jenderal Partai bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Wisma Atlit, Jakabaring, Palembang. Kini hampir setiap hari media mewartakan kasus korupsi yang diduga melibatkan kader partai pemenang pemilihan umum 2009 ini. Gencarnya pemberitaan tak pelak mempengaruhi elektabilitas partai. Terakhir data yang dirilis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan tingkat keterpilihan Partai Demokrat anjlok tinggal 13,3 persen. Padahal survei sejenis pada 2008 menempatkan Demokrat sebagai partai terpopuler dengan dukungan masyarakat sebesar 23 persen. Angka ini di atas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang 17 persen, dan Partai Golongan Karya 13 persen. Kini kondisi berbalik. Partai Golkar dan PDI Perjuangan berada di atas Partai Demokrat.
Lingkaran menyebut, ada tiga hal penyebab keterpurukan Demokrat. Pertama, partai gagal melakukan kontrol terhadap isu negatif di tingkat internal. Kedua, kekecewaan masyarakat atas kinerja dan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga sebagai Ketua Dewan Pembina Partai. Dan ketiga, tidak jelasnya program kerja yang langsung menyentuh masyarakat bawah.
Teori Spiral Kesunyian
Di sini ada fenomena menarik. Petaka di Demokrat saat ini hampir sama dengan yang terjadi pada Partai Golongan Karya kurun waktu 1999 – 2004. Di bawah Pimpinan Akbar Tanjung, saat itu partai berlambang pohon beringin ini diguncang isu korupsi yang diduga dilakukan sang Ketua Umum. Isu korupsi, dan melekatnya dosa warisan sebagai Partai Orde Baru menjadikan popularitas Golkar terpuruk.
Banyak banyak pengamat politik bahkan memperkirakan Partai Golkar bakal tumbang. Namun akhirnya, ramalan itu tak terbukti. Dua kali pemilihan umum pasca tumbangnya kekuasaan Soeharto, nyatanya perolehan suara Golkar tetap tinggi. Bahkan 2004 partai ini bisa menjawarai pesta lima tahunan tersebut. Sejumlah kader potensial dan mumpuni berhasil didudukan di Dewan Perwakilan Rakyat dan kabinet. Kejayaan Golkar terus berlanjut.
Prestasi Golkar kala itu tak lepas dari sentuhan dingin tangan Akbar Tanjung yang pandai mengelola mesin partai, yang memang sudah lebih mapan ketimbang partai politik lain. Sumber daya manusia dan kelembagaan yang memang sudah tertata sejak Orde Baru kembali dikelola dengan telaten. Akbar rajin turun ke bawah, sampai tingkat ranting. Merawat dan mengelola kader. Jarang dia meladeni perang opini dari lawan politik yang dilempar melalui media massa.
Akbar Tanjung seperti mencoba menerapkan teori The Spiral of Silence atau lingkaran kesunyian yang pernah dipopulerkan Elizabeth Noelle-Neuman tahun 1988. Kajian professor emeritus penelitian komunikasi dari Institute fur Publiziztik Jerman ini, membahas soal peran opini dalam interaksi sosial. Sebuah opini publik, apalagi menyangkut isu kotroversial akan cepat menyebar ketika dikemukakan dan diwartakan lewat media massa. Pada kondisi inilah, saat seseorang memiliki pandangan berbeda dengan opini yang berkembang di media massa, maka mereka akan berdiam diri.
Sebagai Ketua Umum, Anas Urbaningrum rupanya sadar betul, rentetaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan kader Demokrat akan mempengaruhi elektabilitas partai. Diapun mencoba meniru strategi yang dilakukan Akbar Tanjung. Di saat hujatan dan serangan opini dari lawan politik, termasuk tuduhan dari Nazaruddin datang bertubi-tubi, Anas justru rajin menyambangi daerah. Mengelola kelembagaan yang memang belum lama terbentuk.
Anas nyaris tak mengalami kesulitan saat harus mendatangi, merangkul dan merawat kader-kader di tingkat bawah. Pada periode sebelumnya, dia menjabat sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat. Sebuah posisi yang memang mengharuskan dia rajin turun ke bawah, membentuk dan mendidik pengurus di tingkat daerah, bahkan ranting. Pengalaman Anas sebagai mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam, sampai anggota Komisi Pemilihan Umum menjadikannya banyak memiliki jaringan dan relasi.
Di tingkat internal partai, gerakan Anas bisa disebut berhasil. Sampai sekarang nyaris tak ada gejolak dari pengurus di tingkat daerah. Hanya ada satu dua pengurus di tingkat daerah yang mendesak agar Anas non aktif dari Ketua Umum Partai karena diduga terlibat sejumlah kasus korupsi. Namun itupun bisa dia redam. Isu perpecahan antara Dewan Pimpinan Pusat dan Dewan Pembina Partai yang mencuat pekan lalu, cepat-cepat dia redakan. Anas mengumpulkan jajaran pengurus DPP menonton bersama film Soegija. Dia ingin menunjukkan bahwa tak ada perpecahan di tubuh partai.
Namun di tingkat external, gerakan Anas belumlah membuahkan hasil. Jajak pendapat sejumlah lembaga survei di atas menunjukkan bahwa dukungan terhadap Partai Demokrat terus merosot. Tiga penyebab melorotnya popularitas yang dilansir Lingkaran Survei Indonesia bisa dijadikan rujukan. Membuat kebijakan untuk memperbaiki citra partai di masyarakat. Sebagai Ketua Umum, Anas bertanggungjawab menjaga perolehan suara pada pemilihan umum 2014 nanti. Berkaca pada hasil survei tersebut, sudah semestinya Anas segara mengklarifikasi tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Tentunya dengan bukti-bukti yang membantah keterlibatan dia dalam sejumlah proyek yang digarap perusahaan milik Nazaruddin. Anas masih memiliki waktu dua tahun untuk membuktikan kesaktian 'Revolusi Sunyi' yang dia jalankan. Akankah keberhasilan Akbar Tanjung, juga akan dia dapatkan?. Semua akan terjawab 2014 nanti.
*) tulisan adalah pendapat pribadi
*****
Erwin Dariyanto
Journalis
twitter @erwindar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar