Beranda

Jumat, 09 Maret 2012

Obituari Widjojo Nitisastro: Profesor di Balik Layar


Profesor di Balik Layar

Mirip arloji Swiss: detail, bekerja dengan presisi, dan memiliki reputasi tinggi

Sosoknya jarang muncul di layar kaca. Bicaranya tak meledak-ledak lazimnya politikus, atau pengamat ekonomi masa kini. Bukan karena tak ada panggung. Tapi memang Widjojo Nitisastro bukan tipe ilmuwan yang mencari polularitas, gandrung dengan sorotan lampu kamera apalagi tepuk tangan penonton. Ia sosok low profile. Ia lebih banyak diam. Memilih banyak bekerja. Tak suka menonjolkan diri, ia bekerja dari balik layar.

Namun karena sikapnya itulah dia disegani tak hanya di Indonesia, juga di manca. Muhammad Chatib Basri, ekonom Universitas Indonesia melukiskan sosok Widjojo mirip arloji Swiss: rinci, bekerja dengan presisi, dan memiliki reputasi tinggi. Prediksinya tentang perekonomian banyak terbukti. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Alisjahbana mengenang pertemuannya dengan Widjojo, April tahun 1997 lalu di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian Lantai 4, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.

Widjojo waktu itu sudah mengingatkan akan potensi krisis ekonomi bakal melanda Indonesia. Di Asia krisis bermula dari Thailand. Berselang enam bulan kemudian terbukti. Indonesia dilanda krisis keuangan. Soeharto masih berharap pada pria yang dijuluki arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru ini. Widjojo diserahi tugas penuh untuk mengambil langkah-langkah penyelamatan krisis. Menteri Penerangan Hartono dan Gubernur Bank Indonesia Soedrajat Jiwandono mengumumkan penunjukkan itu secara resmi di Bina Graha, Jakarta 9 Oktober 1997.

Sayang, ekonomi yang dia bangun puluhan tahun itu tak bisa diselamatkan. Kesaktian Widjojo saat Orde Baru lahir tak lagi mampu menghadang krisis. Inflasi melambung dari 11,1 persen, menjadi 77,6 persen. Rakyat menjerit. Aksi unjuk rasa terjadi di mana-mana. Ekonomi dan kekuasan Soeharto pun akhirnya tumbang.


Sosok Widjojo tak lepas dari kontroversi. Pandangan dan kebijakan ekonominya banyak dipuji sekaligus dikritik. Kalangan yang tak suka menyebutnya sebagai Mafia Berkeley. Julukan ini disematkan karena Widjojo memimpin tim ekonomi yang sebagian besar lulusan doktor dan master dari University of California at Berkeley. David Ransom, seorang aktivis Kiri Baru di Amerika Serikat, dalam majalah bernama Ramparts, menulis, Mafia Berkeley sebagai proyek Amerika, terutama Central Intelligence Agency untuk menggulingkan Soekarno dan melenyapkan pengaruh komunis di Indonesia.

Tuduhan David Ransom dibantah Wakil Presiden Boediono, yang juga pernah menjadi anak murid Widjojo. Melalui akun twitternya kemarin Boediono, Widjojo justru membawa Indonesia keluar dari jerat kebijakan ekonomi terpimpin. Tuduhan sebagai antek CIA dan boneka Amerika juga dinilai tidak masuk akal. Boediono menyebut kebijakan ekonomi Widjojo lahir dari pengalaman dan sejarah ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Sampai akhir hayatnya, Widjojo tak pernah mengomentari tuduhan David Ransom. Dia memilih diam dan lebih banyak menularkan pemikirannya sebagai Penasihat Ahli Bidang Perencanaan Pembangunan Nasional. Dan kemarin sang arsitek ekonomi yang tak suka pamer itu benar-benar memilih diam, menuju ke haribaan sang Kuasa. Selamat jalan profesor!

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar